MEMPERKUAT
EKSISTENSI KPK SEBAGAI LEMBAGA PERMANEN DALAM STRUKTUR KETATANEGARAAN INDONESIA
Abstract
Seiring
berjalannya Reformasi di Indonesia muncul berbagai macam perubahan dalam sistem
Ketatanegaraan, khususnya perubahan pada Konstitusi Negara Indonesia. Salah
satu hasil dari Perubahan Konstitusi Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 (UUD Negara RI Tahun 1945) adalah lahirnya lembaga negara
baru yang diharapkan dapat lebih responsif dalam mengatasi persoalan aktual
negara. Maka, berdirilah berbagai lembaga negara yang membantu tugas
lembaga-lembaga negara yang disebut sebagai ”Lembaga Negara Bantu” dalam bentuk
dewan, komisi, komite, badan, ataupun otorita, dengan masing-masing tugas dan
wewenangnya. Salah satu lembaga negara bantu yang dibentuk dengan undang-undang
adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Kata Kunci : Lembaga Negara
Bantu, Komisi
PENDAHULUAN
[1]Pemberantasan korupsi di Indonesia
senantiasa menjadi sorotan utama baik di kalangan akademisi maupun praktisi.
Berbagai upaya terus dilakukan untuk memberantas tindak pidana korupsi yang
semakin meningkat. Salah satu upaya dalam memberantas korupsi yaitu dengan
membentuk lembaga negara baru yang bersifat sebagai lembaga negara penunjang
(state auxiliary institutions). Didirikannya lembaga negara penunjang ini
bertujuan untuk membantu pelaksanaan tugas yang selama ini dilakukan oleh
lembaga-lembaga negara yang ada selama ini dirasakan kurang efektif.
Pada awalnya pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia di Indonesia dilakukan oleh Kepolisian dan Kejaksaan. Namun dalam perkembangan kepercayaan masyarakat terhadap Kepolisian dan Kejaksaan semakin berkurang dalam memberantas korupsi di Indonesia. berbagai upaya terus dilakukan oleh pemerintah dalam rangka pemberantasan korupsi. Salah satu upaya tersebut dilakukan dengan membentuk lembaga negara baru yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Pada awalnya pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia di Indonesia dilakukan oleh Kepolisian dan Kejaksaan. Namun dalam perkembangan kepercayaan masyarakat terhadap Kepolisian dan Kejaksaan semakin berkurang dalam memberantas korupsi di Indonesia. berbagai upaya terus dilakukan oleh pemerintah dalam rangka pemberantasan korupsi. Salah satu upaya tersebut dilakukan dengan membentuk lembaga negara baru yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Secara historis KPK lahir dari sebuah asumsi bahwa penegakan hukum yang dilakukan oleh Kepolisian dan Kejaksaan tidak berjalan secara efektif. Tingginya angka korupsi di Indonesia menjadikan masyarakat hilang kepercayaaan terhadap lembaga yang ada kemudian direspon oleh pemerintah dengan mementuk Komisi Pemberantasan Korupsi.
Seiring pemkembangan KPK lahir sebagai sebuah harapan baru yang lebih baik dari masyarakat terhadap pemberantasan korupsi di Indonesia. sebuah lembaga baru dengan kewenangan yang sering disebut sebagai lembaga superbody yang memiliki kewenangan ekstra dibanding dengan lembaga negara lain. pada permulaan KPK mendapat sambutan yang cukup baik dari masyarakat. Berbagai kasus korupsi mampu diselesaikan oleh KPK. Keadaan ini mendorong suatu opini publik untuk mempermanenkan eksistensi KPK. Bahkan beberapa ahli menyarankan agar kedudukan KPK diatur dalam konstitusi seperti negara-negara lain misalnya Afrika Selatan. Namun kondisi KPK beberapa tahun terakhir ini tampak mengalami kemunduran. Kemunduran tersebut baik secara personal maupun institusional. Secara institusional banyak perkara-perkara yang masih menjadi pekerjaan rumah bagi KPK yang tak kunjung menemui penyelesaian. Dari sisi personal banyak organ dan pejabat KPK yang justru terlibat kasus korupsi bahkan kasus pembenuhan. Kondisi ini memunculkan banyak berbagai tanggapan baik dari pemerintah, DPR, dan masyarakat.
[2]Secara hierarki lembaga negara dapat dibagi menjadi tiga, yaitu Lembaga Tinggi Negara, Lembaga Negara dan Lembaga yang berada di daerah. Lembaga tinggi negara yaitu lembaga yang yang bersifat pokok yaitu DPR, MPR, Presiden/Wakil Presiden, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, dan DPD. Lembaga tersebut merupakan lembaga tinggi negara. Lembaga Negara yaitu Lembaga negara lapis kedua. Sedangkan lembaga daerah yaitu lembaga yang berada di tingkat daerah. Dilihat secara hierarki, maka KPK merupakan lembaga negara. artinya KPK mempunyai kedudukan pada lapis kedua. Sebagaimana dikemukakan di atas bahwa lembaga negara secara fungsi dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu lembaga negara yang bersifat primer yaitu lembaga negara yang harus ada dalam setiap negara karena merupakan cermin dari eksistensi suatu negara. adapula lembaga negara yang bersifat sekunder yaitu lembaga negara yang menjalankan fungsi turunan dari lembaga negara yang sudah ada atau lembaga negara penunjang.
EKSISTENSI
KPK SEBAGAI LEMBAGA NEGARA YANG PERMANEN
[3]Memaknai Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai lembaga ad hoc dapat
menyesatkan dan perlu diluruskan. Hal ini penting agar tujuan mulia dibentuknya
KPK sebagai lembaga negara yang independen, kuat, dan permanen tidak tercederai
oleh pemahaman yang keliru dan menyalahartikan istilah ad hoc sebagai
sesuatu yang bersifat sementara.
Arti ad
hoc bukanlah sementara, melainkan untuk tujuan khusus/tertentu. Ini
sesuai dengan arti ad hoc menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia (Pusat Bahasa) dan Wikipedia, di mana ad hoc adalah
sebuah istilah dari bahasa Latin yang populer dipakai dalam bidang
keorganisasian atau penelitian. Istilah ini memiliki arti "dibentuk atau
dimaksudkan untuk salah satu tujuan saja" atau sesuatu yang
"diimprovisasi". Tujuan dibentuknya KPK adalah untuk memberantas
korupsi yang sudah akut di negeri ini.
Memaknai
KPK sebagai lembaga permanen sangatlah penting, karena KPK, berdasarkan sejarah
pembentukannya, memang bukan lembaga yang dibentuk untuk sementara waktu (ad
interim). Sesuai dengan semangat penciptaannya, KPK disiapkan sebagai
lembaga negara yang permanen, kuat, dan independen (bebas dari pengaruh
kekuasaan mana pun) dengan tujuan khusus (ad hoc dalam pengertian
yang benar), yaitu membebaskan Indonesia dari korupsi. Hal ini senada dengan
pendapat Prof Jimly Asshiddiqie, yang menyatakan KPK adalah lembaga permanen
karena KPK dibentuk dengan undang-undang, bukan instruksi presiden . Perlu
digarisbawahi bahwa istilah lembaga ad hoc tidak ada dalam
hukum tata negara.
Apabila
kita baca secara seksama [4]Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, tidak ada satu
pun pasal dalam undang-undang tersebut yang menyatakan KPK adalah lembaga ad
hoc, demikian juga dalam penjelasan dan pertimbangannya. Lalu, bagaimana
bisa dikatakan KPK lembaga ad hoc? Harus diakui secara jujur dan
adil bahwa, sejak didirikannya pada 2003, KPK telah banyak membawa perubahan
yang sangat besar dalam sejarah pemberantasan korupsi di Indonesia. Pada masa
sebelum adanya KPK, banyak kasus korupsi yang tak tersentuh hukum, khususnya
yang melibatkan para penguasa. Namun, sejak KPK berdiri, sudah banyak kasus
besar yang ditangani dan pelakunya dijatuhi hukuman.
Alasan
lain KPK lembaga permanen adalah tidak ada satu pun instansi
kementerian/lembaga yang memiliki kewenangan pencegahan tindak pidana korupsi
dalam artian memiliki mandat khusus, seperti menyelenggarakan program
pendidikan antikorupsi pada setiap jenjang pendidikan, melakukan pendaftaran
dan pemeriksaan terhadap laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN),
menerima laporan dan menetapkan status gratifikasi serta melakukan kampanye
antikorupsi kepada masyarakat umum. KPK juga berwenang meminta laporan instansi
yang terkait dengan pencegahan korupsi. Dalam penjelasan Undang-Undang KPK
secara tegas disebutkan bahwa KPK adalah trigger mechanism, yaitu
berfungsi sebagai pemicu dan pemberdayaan institusi yang telah ada dalam
pemberantasan korupsi. Kewenangan ini hanya dimiliki oleh KPK.
Dalam
tugas monitor korupsi, KPK juga melakukan pengkajian terhadap sistem
pengelolaan administrasi di semua lembaga negara dan pemerintah. Selain itu,
KPK dibiayai oleh APBN dan dimungkinkan untuk membuka kantor perwakilan di
daerah provinsi. Korupsi bukanlah kejahatan biasa, melainkan kejahatan luar
biasa (extraordinary crime). Maka, cara menanganinya juga memerlukan
cara-cara yang luar biasa (extraordinary), tidak konvensional. Masalah
korupsi tidak mungkin diselesaikan dalam waktu yang singkat, terlebih ketika
masih ada kekuasaan. Bagaimanapun, kekuasaan punya potensi ke arah korupsi (power
tends to corrupt). Maka, selama itu pula lembaga KPK harus ada.
KEDUDUKAN KPK SEBAGAI LEMBAGA NEGARA BANTU DALAM SISTEM HUKUM KETATANEGARAAN INDONESIA
A. PENGERTIAN LEMBAGA NEGARA BANTU
[5]Kemunculan
lembaga negara yang dalam pelaksanaan fungsinya tidak secara jelas memosisikan
diri sebagai salah satu dari tiga lembaga trias politica mengalami perkembangan
pada tiga dasawarsa terakhir abad ke-20 di negara-negara yang telah mapan
berdemokrasi, seperti Amerika Serikat dan Perancis. Banyak istilah untuk menyebut
jenis lembaga-lembaga baru tersebut, diantaranya adalah state auxiliary
institutions atau state auxiliary organs yang apabila diterjemahkan secara
harfiah ke dalam bahasa Indonesia berarti institusi atau organ negara
penunjang. Istilah “lembaga negara bantu” merupakan yang paling umum digunakan
oleh para pakar dan
sarjana hukum tata negara, walaupun pada kenyataannya terdapat pula yang berpendapat bahwa istilah “lembaga negara penunjang” atau “lembaga negara independen”lebih tepat untuk menyebut jenis lembaga tersebut. [6]M. Laica Marzuki cenderung mempertahankan istilah state auxiliary institutions alih-alih “lembaga negara bantu” untuk menghindari kerancuan dengan lembaga lain yang berkedudukan di bawah lembaga negara konstitusional. Kedudukan lembaga-lembaga ini tidak berada dalam ranah cabang kekuasaan eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Namun, tidak pula lembaga-lembaga tersebut dapat diperlakukan sebagai organisasi swasta ataupun lembaga non-pemerintah yang lebih sering disebut ornop (organisasi non-pemerintah) atau NGO non-governmental organization). Lembaga negara bantu ini sekilas memang menyerupai NGO karena berada di luar struktur pemerintahan eksekutif. Akan tetapi, keberadaannya yang bersifat publik, sumber pendanaan yang berasal dari publik, serta bertujuan untuk kepentingan publik, membuatnya tidak dapat disebut sebagai NGO dalam arti sebenarnya. Sebagian ahli tetap mengelompokkan lembaga independen semacam ini dalam lingkup kekuasaaneksekutif, namun terdapat pula beberapa sarjana yang menempatkannya secara tersendiri sebagai cabang keempat dalam kekuasaan pemerintahan.
[7]Secara teoritis, lembaga negara bantu bermula dari kehendak negara untuk membuat lembaga negara baru yang pengisian anggotanya diambil dari unsur non-negara, diberi otoritas negara, dan dibiayai oleh negara tanpa harus menjadi pegawai negara. Gagasan lembaga negara bantu sebenarnya berawal dari keinginan negara yang sebelumnya kuat ketika berhadapan dengan masyarakat, rela untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk mengawasi. Jadi, meskipun negara masih tetap kuat, ia diawasi oleh masyarakat sehingga tercipta akuntabilitas vertikal dan akuntabilitas horizontal.Munculnya lembaga negara bantu dimaksudkan pula untuk menjawab tuntutan masyarakat atas terciptanya prinsip-prinsip demokrasi dalam setiap penyelenggaraan pemerintahan melalui lembaga yang akuntabel, independen,serta,dapatdipercaya.
Selain itu, faktor lain yang memicu terbentuknya lembaga negara bantu adalah terdapatnya kecenderungan dalam teori administrasi kontemporer untuk mengalihkan tugas-tugas yang bersifat regulatif dan administratif menjadi bagian dari tugas lembaga independen. Berkaitan dengan sifatnya tersebut, John Alder mengklasifikasikan jenis lembaga ini menjadi dua, yaitu: (1) regulatory, yang berfungsi membuat aturan serta melakukan supervisi terhadap aktivitas hubungan yang bersifat privat; dan (2)
advisory, yang berfungsi memberikan masukan atau nasihat kepada pemerintah.
[8]lima alasan utama yang melatarbelakangi dibentuknya lembaga negara bantu dalam suatu pemerintahan, alasan-alasan itu adalah sebagai berikut.
1. Adanya kebutuhan untuk menyediakan pelayanan budaya dan pelayanan yang bersifat personal yang diharapkan bebas dari risiko campur tangan politik.
sarjana hukum tata negara, walaupun pada kenyataannya terdapat pula yang berpendapat bahwa istilah “lembaga negara penunjang” atau “lembaga negara independen”lebih tepat untuk menyebut jenis lembaga tersebut. [6]M. Laica Marzuki cenderung mempertahankan istilah state auxiliary institutions alih-alih “lembaga negara bantu” untuk menghindari kerancuan dengan lembaga lain yang berkedudukan di bawah lembaga negara konstitusional. Kedudukan lembaga-lembaga ini tidak berada dalam ranah cabang kekuasaan eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Namun, tidak pula lembaga-lembaga tersebut dapat diperlakukan sebagai organisasi swasta ataupun lembaga non-pemerintah yang lebih sering disebut ornop (organisasi non-pemerintah) atau NGO non-governmental organization). Lembaga negara bantu ini sekilas memang menyerupai NGO karena berada di luar struktur pemerintahan eksekutif. Akan tetapi, keberadaannya yang bersifat publik, sumber pendanaan yang berasal dari publik, serta bertujuan untuk kepentingan publik, membuatnya tidak dapat disebut sebagai NGO dalam arti sebenarnya. Sebagian ahli tetap mengelompokkan lembaga independen semacam ini dalam lingkup kekuasaaneksekutif, namun terdapat pula beberapa sarjana yang menempatkannya secara tersendiri sebagai cabang keempat dalam kekuasaan pemerintahan.
[7]Secara teoritis, lembaga negara bantu bermula dari kehendak negara untuk membuat lembaga negara baru yang pengisian anggotanya diambil dari unsur non-negara, diberi otoritas negara, dan dibiayai oleh negara tanpa harus menjadi pegawai negara. Gagasan lembaga negara bantu sebenarnya berawal dari keinginan negara yang sebelumnya kuat ketika berhadapan dengan masyarakat, rela untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk mengawasi. Jadi, meskipun negara masih tetap kuat, ia diawasi oleh masyarakat sehingga tercipta akuntabilitas vertikal dan akuntabilitas horizontal.Munculnya lembaga negara bantu dimaksudkan pula untuk menjawab tuntutan masyarakat atas terciptanya prinsip-prinsip demokrasi dalam setiap penyelenggaraan pemerintahan melalui lembaga yang akuntabel, independen,serta,dapatdipercaya.
Selain itu, faktor lain yang memicu terbentuknya lembaga negara bantu adalah terdapatnya kecenderungan dalam teori administrasi kontemporer untuk mengalihkan tugas-tugas yang bersifat regulatif dan administratif menjadi bagian dari tugas lembaga independen. Berkaitan dengan sifatnya tersebut, John Alder mengklasifikasikan jenis lembaga ini menjadi dua, yaitu: (1) regulatory, yang berfungsi membuat aturan serta melakukan supervisi terhadap aktivitas hubungan yang bersifat privat; dan (2)
advisory, yang berfungsi memberikan masukan atau nasihat kepada pemerintah.
[8]lima alasan utama yang melatarbelakangi dibentuknya lembaga negara bantu dalam suatu pemerintahan, alasan-alasan itu adalah sebagai berikut.
1. Adanya kebutuhan untuk menyediakan pelayanan budaya dan pelayanan yang bersifat personal yang diharapkan bebas dari risiko campur tangan politik.
2.
Adanya keinginan untuk mengatur pasar dengan regulasi yang bersifat non-politik.
3. Perlunya pengaturan mengenai profesi-profesi yang bersifat independen, seperti profesi dibidang kedokteran dan hukum
3. Perlunya pengaturan mengenai profesi-profesi yang bersifat independen, seperti profesi dibidang kedokteran dan hukum
4.Perlunya
pengadaan aturan mengenai pelayanan-pelayanan yang bersifat teknis.
5.
Munculnya berbagai institusi yang bersifat semiyudisial dan berfungsi untuk
menyelesaikan sengketa diluar pengadilan
B. KEDUDUKAN
LEMBAGA NEGARA BANTU DIDIDALAM SISTEM HUKUM KETATANEGARAAN INDONESIA
[9]Lembaga negara pada kelompok pertama adalah lembaga-lembaga negara yang kewenangannya diberikan secara langsung oleh UUD Negara RI Tahun 1945, yaitu Presiden dan Wakil Presiden, MPR, DPR, DPD, BPK, MA, MK, dan KY. Selain delapan lembaga tersebut, masih terdapat beberapa lembaga yang juga disebut dalam UUD Negara RI Tahun 1945 namun kewenangannya tidak disebutkan secara eksplisit oleh konstitusi. Lembaga-lembaga yang dimaksud adalah Kementerian Negara, Pemerintah Daerah, komisi pemilihan umum, bank sentral, Tentara Nasional Indonesia (TNI), Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), dan dewan pertimbangan presiden.
[10]Berikutnya, berdasarkan
catatan lembaga swadaya masyarakat Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN),
paling tidak terdapat sepuluh lembaga negara yang dibentuk atas dasar perintah
undang-undang. Lembaga-lembaga tersebut adalah Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia (Komnas HAM), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Penyiaran
Indonesia (KPI), Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi (KKR), Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia (Komnas
Perlindungan Anak), Komisi Kepolisian Nasional, Komisi Kejaksaan, Dewan Pers,
dan Dewan Pendidikan. Jumlah ini kemungkinan dapat bertambah atau berkurang
mengingat lembaga negara dalam kelompok ini tidak bersifat permanen melainkan
bergantung pada kebutuhan negara.
Misalnya, KPK dibentuk
karena dorongan kenyataan bahwa fungsi lembaga-lembaga yang sudah ada
sebelumnya, seperti kepolisian dan kejaksaan, dianggap tidak maksimal atau
tidak efektif dalam melakukan pemberantasan korupsi. Apabila kelak, korupsi
dapat diberantas dengan efektif oleh kepolisian dan kejaksaan,maka keberadaan
KPK dapat ditinjau kembali.
Lembaga-lembaga negara dalam kelompok terakhir inilah yang disebut dalam tulisan ini sebagai lembaga negara bantu. Pembentukan lembaga-lembaga negara yang bersifat mandiri ini secara umum disebabkan oleh adanya ketidakpercayaan publik terhadap lembaga-lembaga negara yang ada dalam menyelesaikan persoalan ketatanegaraan. Selain itu pada kenyataannya, lembaga-lembaga negara yang telah ada belum berhasil memberikan jalan keluar dan menyelesaikan persoalan yang ada ketika tuntutan perubahan dan perbaikan semakin mengemuka seiring dengan berkembangnya paham demokrasi di Indonesia.
Lembaga-lembaga negara dalam kelompok terakhir inilah yang disebut dalam tulisan ini sebagai lembaga negara bantu. Pembentukan lembaga-lembaga negara yang bersifat mandiri ini secara umum disebabkan oleh adanya ketidakpercayaan publik terhadap lembaga-lembaga negara yang ada dalam menyelesaikan persoalan ketatanegaraan. Selain itu pada kenyataannya, lembaga-lembaga negara yang telah ada belum berhasil memberikan jalan keluar dan menyelesaikan persoalan yang ada ketika tuntutan perubahan dan perbaikan semakin mengemuka seiring dengan berkembangnya paham demokrasi di Indonesia.
Pembentukan lembaga-lembaga
negara bantu tersebut juga harus memiliki landasan pijak yang kuat dan
paradigma yang jelas. Dengan demikian, keberadaannya dapat membawa manfaat bagi
kepentingan publik pada umumnya serta bagi penataan sistem ketatanegaraan pada
khususnya. [11]Ni’matul
Huda, mengutip Firmansyah Arifin,dkk. dalam Lembaga Negara dan Sengketa
Kewenangan Antarlembaga Negara, mengatakan bahwa aspek kuantitas
lembaga-lembaga tersebut tidak menjadi masalah asalkan keberadaan dan
pembentukannya mencerminkan prinsip-prinsip sebagai berikut:
1. Prinsip konstitusionalisme.
Konstitusionalisme adalah
gagasan yang menghendaki agar kekuasaan para pemimpin dan badan-badan
pemerintahan yang ada dapat dibatasi. Pembatasan tersebut dapat diperkuat
sehingga menjadi suatu mekanisme yang tetap. Dengan demikian, pembentukan
lembaga-lembaga negara bantu ditujukan untuk menegaskan dan memperkuat
prinsip-prinsip konstitusionalisme agar hak-hak dasar warga negara semakin
terjamin.
2. Prinsip checks and balances.
2. Prinsip checks and balances.
Ketiadaan mekanisme checks
and balances dalam sistem bernegara merupakan salah satu penyebab banyaknya
penyimpangan di masa lalu. Supremasi MPR dan dominasi kekuatan eksekutif dalam
praktik pemerintahan pada masa prareformasi telah menghambat proses demokrasi
secara sehat. Ketiadaan mekanisme saling kontrol antarcabang kekuasaan tersebut
mengakibatkan pemerintahan yang totaliter serta munculnya praktik
penyalahgunaan kekuasaan atau abuse of power. Prinsip checks and balances
menjadi roh bagi pembangunan dan pengembangan demokrasi. Pembentukan
organ-organ kelembagaan negara harus bertolak dari kerangka dasar sistem UUD
Negara RI Tahun 1945 untuk menciptakan mekanisme checks and balances.
3.
Prinsip integrasi.
Selain harus mempunyai fungsi dan
kewenangan yang jelas, konsep kelembagaan negara juga harus membentuk suatu
kesatuan yang berproses dalam melaksanakan fungsinya. Pembentukan suatu lembaga
negara tidak dapat dilakukan secara parsial, melainkan harus dikaitkan
keberadaannya dengan lembaga-lembaga lain yang telah eksis. Proses pembentukan
lembaga-lembaga negara yang tidak integral dapat mengakibatkan
tumpang-tindihnya kewenangan antarlembaga yang ada sehingga menimbulkan
inefektivitas penyelenggaraan pemerintahan.
4.
Prinsip kemanfaatan bagi masyarakat.
Pada dasarnya, pembentukan lembaga negara
ditujukan untuk memenuhi kesejahteraan warganya serta menjamin hak-hak dasar
warga negara yang diatur dalam konstitusi. Oleh karena itu, penyelenggaraan
pemerintahan serta pembentukan lembaga-lembaga politik dan hukum harus mengacu
kepada prinsip pemerintahan, yaitu harus dijalankan untuk kepentingan umum dan
kebaikan masyarakat secara keseluruhan serta tetap memelihara hak-hak individu
warga negara.
[12]Dalam proses transisi
pemerintahan, di Indonesia telah lahir berbagai lembaga negara tambahan seperti
telah diuraikan di atas. Akan tetapi, berbeda dengan pembentukan state
auxiliary institutions di negara-negara lain, lembaga negara bantu di Indonesia
dibentuk dengan proses yang tak seragam. Beberapa didirikan dengan dasar hukum
undang-undang , sementara sebagian lainnya dibentuk atas dasar perintah
keputusan presiden .
PENUTUP
Gambaran
di atas menunjukkan bahwa yang menjadi latar belakang bertebarannya
lembaga-lembaga negara bantu dalam struktur ketatanegaraan RI bukanlah desain
konstitusional yang dapat menjadi payung hukum untuk mempertahankan
eksistensinya melainkan isu-isu insidental yang diharapkan dapat menjawab
persoalan yang dihadapi. Yang Pertama, legitimasi yuridis bagi keberadaan
lembaga-lembaga negara bantu itu sangat lemah sehingga senantiasa menghadapi
kendala dalam menjalankan kewenangannya. Dan yang Kedua, lembaga-lembaga negara
bantu itu berjalan secara sendiri-sendiri tanpa ada sistematika kerja yang
sinergis dan dapat mendukung satu sama lain, sehingga hasil kerja suatu lembaga
negara bantu seringkali kurang dirasakan manfaatnya oleh lembaga negara bantu
lainnya. Kedua hal tersebut di atas akhirnya mengakibatkan efektivitas
keberadaan lembaga negara bantu dalam struktur ketatanegaraan masih belum
tampak sesuai dengan tujuan awal pembentukan lembaga yang bersifat
ekstraeksekutif, kstralegislatif, dan ekstra yudikatif itu.
KPK adalah milik bangsa
Indonesia, bukan orang per orang atau golongan. Karena itu, memperkuat KPK agar
tetap profesional dan independen adalah tanggung jawab kita bersama, agar KPK
tetap dapat melaksanakan tugas-tugasnya dengan baik dan mampu menjawab harapan
publik untuk mempercepat mencapai tujuan nasional. Kita perlu melihat
keberhasilan negara lain dalam memberantas korupsi melalui lembaga antikorupsi
yang didukung penuh oleh pemerintah dan parlemennya, bahkan memasukkannya ke
dalam konstitusi (Undang-Undang Dasar).
DAFTAR PUSTAKA
Jimly
Asshiddiqie., Perkembangan
dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Sinar Grafika,
jakarta, 2010
Moh
Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara
Pasca Amandemen Konstitusi,PT Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2010
Jimly
Asshiddiqie., Konstitusi dan
konstitualisme indonesia, Sinar Grafika, jakarta, 2009
Ni’matul
Huda., Hukum Tata Negara
kajian teoritis dan yuridis terhadap konstitusi indonesia, Gama
Media, Yogyakarta, 1999
Moh
Mahfud MD, Dasar dan struktur
ketatanegaraan indonesia, penerbit rineka cipta, Yogyakarta, 1993
[1] dirman79.blogspot.com/2011/07/analisis-status-dan-kedudukan-kpk-dalam.html?zx=d1c758d5b3cb7a09
(juli 2012) http://id.shvoong.com/law-and-politics/constitutional-law/2065503-analisis-status-dan-kedudukan-kpk/#ixzz1SzGk8ItI
[2] Jimly
Asshiddiqie., Perkembangan
dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Sinar Grafika,
jakarta, 2010
[4]
Undang-undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi
[6] Jimly
Asshiddiqie., Perkembangan
dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Sinar Grafika,
jakarta, 2010
[7] Moh
Mahfud MD, Dasar dan struktur
ketatanegaraan indonesia, penerbit rineka cipta, Yogyakarta, 1993
[8] Jimly
Asshiddiqie., Konstitusi dan
konstitualisme indonesia, Sinar Grafika, jakarta, 2009
[9] Jimly
Asshiddiqie., Perkembangan
dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Sinar Grafika,
jakarta, 2010
[10] Moh
Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara
Pasca Amandemen Konstitusi,PT Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2010
[11] Ni’matul
Huda., Hukum Tata Negara
kajian teoritis dan yuridis terhadap konstitusi indonesia, Gama
Media, Yogyakarta, 1999
[12] Jimly
Asshiddiqie., Konstitusi dan
konstitualisme indonesia, Sinar Grafika, jakarta, 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar