Selasa, 12 Februari 2013

MEMPERKUAT EKSISTENSI KPK SEBAGAI LEMBAGA PERMANEN DALAM STRUKTUR KETATANEGARAAN INDONESIA



MEMPERKUAT EKSISTENSI KPK SEBAGAI LEMBAGA PERMANEN DALAM STRUKTUR KETATANEGARAAN INDONESIA
Abstract
Seiring berjalannya Reformasi di Indonesia muncul berbagai macam perubahan dalam sistem Ketatanegaraan, khususnya perubahan pada Konstitusi Negara Indonesia. Salah satu hasil dari Perubahan Konstitusi Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD Negara RI Tahun 1945) adalah lahirnya lembaga negara baru yang diharapkan dapat lebih responsif dalam mengatasi persoalan aktual negara. Maka, berdirilah berbagai lembaga negara yang membantu tugas lembaga-lembaga negara yang disebut sebagai ”Lembaga Negara Bantu” dalam bentuk dewan, komisi, komite, badan, ataupun otorita, dengan masing-masing tugas dan wewenangnya. Salah satu lembaga negara bantu yang dibentuk dengan undang-undang adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Kata Kunci : Lembaga Negara Bantu, Komisi
PENDAHULUAN
[1]Pemberantasan korupsi di Indonesia senantiasa menjadi sorotan utama baik di kalangan akademisi maupun praktisi. Berbagai upaya terus dilakukan untuk memberantas tindak pidana korupsi yang semakin meningkat. Salah satu upaya dalam memberantas korupsi yaitu dengan membentuk lembaga negara baru yang bersifat sebagai lembaga negara penunjang (state auxiliary institutions). Didirikannya lembaga negara penunjang ini bertujuan untuk membantu pelaksanaan tugas yang selama ini dilakukan oleh lembaga-lembaga negara yang ada selama ini dirasakan kurang efektif.
Pada awalnya pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia di Indonesia dilakukan oleh Kepolisian dan Kejaksaan. Namun dalam perkembangan kepercayaan masyarakat terhadap Kepolisian dan Kejaksaan semakin berkurang dalam memberantas korupsi di Indonesia. berbagai upaya terus dilakukan oleh pemerintah dalam rangka pemberantasan korupsi. Salah satu upaya tersebut dilakukan dengan membentuk lembaga negara baru yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

            Secara historis KPK lahir dari sebuah asumsi bahwa penegakan hukum yang dilakukan oleh Kepolisian dan Kejaksaan tidak berjalan secara efektif. Tingginya angka korupsi di Indonesia menjadikan masyarakat hilang kepercayaaan terhadap lembaga yang ada kemudian direspon oleh pemerintah dengan mementuk Komisi Pemberantasan Korupsi.

            Seiring pemkembangan KPK lahir sebagai sebuah harapan baru yang lebih baik dari masyarakat terhadap pemberantasan korupsi di Indonesia. sebuah lembaga baru dengan kewenangan yang sering disebut sebagai lembaga superbody yang memiliki kewenangan ekstra dibanding dengan lembaga negara lain. pada permulaan KPK mendapat sambutan yang cukup baik dari masyarakat. Berbagai kasus korupsi mampu diselesaikan oleh KPK. Keadaan ini mendorong suatu opini publik untuk mempermanenkan eksistensi KPK. Bahkan beberapa ahli menyarankan agar kedudukan KPK diatur dalam konstitusi seperti negara-negara lain misalnya Afrika Selatan. Namun kondisi KPK beberapa tahun terakhir ini tampak mengalami kemunduran. Kemunduran tersebut baik secara personal maupun institusional. Secara institusional banyak perkara-perkara yang masih menjadi pekerjaan rumah bagi KPK yang tak kunjung menemui penyelesaian. Dari sisi personal banyak organ dan pejabat KPK yang justru terlibat kasus korupsi bahkan kasus pembenuhan. Kondisi ini memunculkan banyak berbagai tanggapan baik dari pemerintah, DPR, dan masyarakat.

            [2]Secara hierarki lembaga negara dapat dibagi menjadi tiga, yaitu Lembaga Tinggi Negara, Lembaga Negara dan Lembaga yang berada di daerah. Lembaga tinggi negara yaitu lembaga yang yang bersifat pokok yaitu DPR, MPR, Presiden/Wakil Presiden, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, dan DPD. Lembaga tersebut merupakan lembaga tinggi negara. Lembaga Negara yaitu Lembaga negara lapis kedua. Sedangkan lembaga daerah yaitu lembaga yang berada di tingkat daerah. Dilihat secara hierarki, maka KPK merupakan lembaga negara. artinya KPK mempunyai kedudukan pada lapis kedua. Sebagaimana dikemukakan di atas bahwa lembaga negara secara fungsi dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu lembaga negara yang bersifat primer yaitu lembaga negara yang harus ada dalam setiap negara karena merupakan cermin dari eksistensi suatu negara. adapula lembaga negara yang bersifat sekunder yaitu lembaga negara yang menjalankan fungsi turunan dari lembaga negara yang sudah ada atau lembaga negara penunjang.
EKSISTENSI KPK SEBAGAI LEMBAGA NEGARA YANG PERMANEN

            [3]Memaknai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai lembaga ad hoc dapat menyesatkan dan perlu diluruskan. Hal ini penting agar tujuan mulia dibentuknya KPK sebagai lembaga negara yang independen, kuat, dan permanen tidak tercederai oleh pemahaman yang keliru dan menyalahartikan istilah ad hoc sebagai sesuatu yang bersifat sementara. 

            Arti ad hoc bukanlah sementara, melainkan untuk tujuan khusus/tertentu. Ini sesuai dengan arti ad hoc menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Pusat Bahasa) dan Wikipedia, di mana ad hoc adalah sebuah istilah dari bahasa Latin yang populer dipakai dalam bidang keorganisasian atau penelitian. Istilah ini memiliki arti "dibentuk atau dimaksudkan untuk salah satu tujuan saja" atau sesuatu yang "diimprovisasi". Tujuan dibentuknya KPK adalah untuk memberantas korupsi yang sudah akut di negeri ini. 

            Memaknai KPK sebagai lembaga permanen sangatlah penting, karena KPK, berdasarkan sejarah pembentukannya, memang bukan lembaga yang dibentuk untuk sementara waktu (ad interim). Sesuai dengan semangat penciptaannya, KPK disiapkan sebagai lembaga negara yang permanen, kuat, dan independen (bebas dari pengaruh kekuasaan mana pun) dengan tujuan khusus (ad hoc dalam pengertian yang benar), yaitu membebaskan Indonesia dari korupsi. Hal ini senada dengan pendapat Prof Jimly Asshiddiqie, yang menyatakan KPK adalah lembaga permanen karena KPK dibentuk dengan undang-undang, bukan instruksi presiden . Perlu digarisbawahi bahwa istilah lembaga ad hoc tidak ada dalam hukum tata negara.

            Apabila kita baca secara seksama [4]Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, tidak ada satu pun pasal dalam undang-undang tersebut yang menyatakan KPK adalah lembaga ad hoc, demikian juga dalam penjelasan dan pertimbangannya. Lalu, bagaimana bisa dikatakan KPK lembaga ad hoc? Harus diakui secara jujur dan adil bahwa, sejak didirikannya pada 2003, KPK telah banyak membawa perubahan yang sangat besar dalam sejarah pemberantasan korupsi di Indonesia. Pada masa sebelum adanya KPK, banyak kasus korupsi yang tak tersentuh hukum, khususnya yang melibatkan para penguasa. Namun, sejak KPK berdiri, sudah banyak kasus besar yang ditangani dan pelakunya dijatuhi hukuman. 
            Alasan lain KPK lembaga permanen adalah tidak ada satu pun instansi kementerian/lembaga yang memiliki kewenangan pencegahan tindak pidana korupsi dalam artian memiliki mandat khusus, seperti menyelenggarakan program pendidikan antikorupsi pada setiap jenjang pendidikan, melakukan pendaftaran dan pemeriksaan terhadap laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN), menerima laporan dan menetapkan status gratifikasi serta melakukan kampanye antikorupsi kepada masyarakat umum. KPK juga berwenang meminta laporan instansi yang terkait dengan pencegahan korupsi. Dalam penjelasan Undang-Undang KPK secara tegas disebutkan bahwa KPK adalah trigger mechanism, yaitu berfungsi sebagai pemicu dan pemberdayaan institusi yang telah ada dalam pemberantasan korupsi. Kewenangan ini hanya dimiliki oleh KPK. 

            Dalam tugas monitor korupsi, KPK juga melakukan pengkajian terhadap sistem pengelolaan administrasi di semua lembaga negara dan pemerintah. Selain itu, KPK dibiayai oleh APBN dan dimungkinkan untuk membuka kantor perwakilan di daerah provinsi. Korupsi bukanlah kejahatan biasa, melainkan kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Maka, cara menanganinya juga memerlukan cara-cara yang luar biasa (extraordinary), tidak konvensional. Masalah korupsi tidak mungkin diselesaikan dalam waktu yang singkat, terlebih ketika masih ada kekuasaan. Bagaimanapun, kekuasaan punya potensi ke arah korupsi (power tends to corrupt). Maka, selama itu pula lembaga KPK harus ada. 

KEDUDUKAN KPK SEBAGAI LEMBAGA NEGARA BANTU DALAM SISTEM HUKUM KETATANEGARAAN INDONESIA


A. PENGERTIAN LEMBAGA NEGARA BANTU
[5]Kemunculan lembaga negara yang dalam pelaksanaan fungsinya tidak secara jelas memosisikan diri sebagai salah satu dari tiga lembaga trias politica mengalami perkembangan pada tiga dasawarsa terakhir abad ke-20 di negara-negara yang telah mapan berdemokrasi, seperti Amerika Serikat dan Perancis. Banyak istilah untuk menyebut jenis lembaga-lembaga baru tersebut, diantaranya adalah state auxiliary institutions atau state auxiliary organs yang apabila diterjemahkan secara harfiah ke dalam bahasa Indonesia berarti institusi atau organ negara penunjang. Istilah “lembaga negara bantu” merupakan yang paling umum digunakan oleh para pakar dan
sarjana hukum tata negara, walaupun pada kenyataannya terdapat pula yang berpendapat bahwa istilah “lembaga negara penunjang” atau “lembaga negara independen”lebih tepat untuk menyebut jenis lembaga tersebut. [6]M. Laica Marzuki cenderung mempertahankan istilah state auxiliary institutions alih-alih “lembaga negara bantu” untuk menghindari kerancuan dengan lembaga lain yang berkedudukan di bawah lembaga negara konstitusional. Kedudukan lembaga-lembaga ini tidak berada dalam ranah cabang kekuasaan eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Namun, tidak pula lembaga-lembaga tersebut dapat diperlakukan sebagai organisasi swasta ataupun lembaga non-pemerintah yang lebih sering disebut ornop (organisasi non-pemerintah) atau NGO non-governmental organization). Lembaga negara bantu ini sekilas memang menyerupai NGO karena berada di luar struktur pemerintahan eksekutif. Akan tetapi, keberadaannya yang bersifat publik, sumber pendanaan yang berasal dari publik, serta bertujuan untuk kepentingan publik, membuatnya tidak dapat disebut sebagai NGO dalam arti sebenarnya. Sebagian ahli tetap mengelompokkan lembaga independen semacam ini dalam lingkup kekuasaaneksekutif, namun terdapat pula beberapa sarjana yang menempatkannya secara tersendiri sebagai cabang keempat dalam kekuasaan pemerintahan.

            [7]Secara teoritis, lembaga negara bantu bermula dari kehendak negara untuk membuat lembaga negara baru yang pengisian anggotanya diambil dari unsur non-negara, diberi otoritas negara, dan dibiayai oleh negara tanpa harus menjadi pegawai negara. Gagasan lembaga negara bantu sebenarnya berawal dari keinginan negara yang sebelumnya kuat ketika berhadapan dengan masyarakat, rela untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk mengawasi. Jadi, meskipun negara masih tetap kuat, ia diawasi oleh masyarakat sehingga tercipta akuntabilitas vertikal dan akuntabilitas horizontal.Munculnya lembaga negara bantu dimaksudkan pula untuk menjawab tuntutan masyarakat atas terciptanya prinsip-prinsip demokrasi dalam setiap penyelenggaraan pemerintahan melalui lembaga yang akuntabel, independen,serta,dapatdipercaya.

            Selain itu, faktor lain yang memicu terbentuknya lembaga negara bantu adalah terdapatnya kecenderungan dalam teori administrasi kontemporer untuk mengalihkan tugas-tugas yang bersifat regulatif dan administratif menjadi bagian dari tugas lembaga independen. Berkaitan dengan sifatnya tersebut, John Alder mengklasifikasikan jenis lembaga ini menjadi dua, yaitu: (1) regulatory, yang berfungsi membuat aturan serta melakukan supervisi terhadap aktivitas hubungan yang bersifat privat; dan (2)
advisory, yang berfungsi memberikan masukan atau nasihat kepada pemerintah.
            [8]lima alasan utama yang melatarbelakangi dibentuknya lembaga negara bantu dalam suatu pemerintahan, alasan-alasan itu adalah sebagai berikut.
1. Adanya kebutuhan untuk menyediakan pelayanan budaya dan pelayanan yang bersifat personal yang diharapkan bebas dari risiko campur tangan politik.
2. Adanya keinginan untuk mengatur pasar dengan regulasi yang bersifat non-politik.
3. Perlunya pengaturan mengenai profesi-profesi yang bersifat independen, seperti profesi dibidang kedokteran dan hukum
4.Perlunya pengadaan aturan mengenai pelayanan-pelayanan yang bersifat teknis.
5. Munculnya berbagai institusi yang bersifat semiyudisial dan berfungsi untuk menyelesaikan sengketa diluar pengadilan
B. KEDUDUKAN LEMBAGA NEGARA BANTU DIDIDALAM SISTEM HUKUM KETATANEGARAAN INDONESIA

            [9]Lembaga negara pada kelompok pertama adalah lembaga-lembaga negara yang kewenangannya diberikan secara langsung oleh UUD Negara RI Tahun 1945, yaitu Presiden dan Wakil Presiden, MPR, DPR, DPD, BPK, MA, MK, dan KY. Selain delapan lembaga tersebut, masih terdapat beberapa lembaga yang juga disebut dalam UUD Negara RI Tahun 1945 namun kewenangannya tidak disebutkan secara eksplisit oleh konstitusi. Lembaga-lembaga yang dimaksud adalah Kementerian Negara, Pemerintah Daerah, komisi pemilihan umum, bank sentral, Tentara Nasional Indonesia (TNI), Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), dan dewan pertimbangan presiden.  
           
            [10]Berikutnya, berdasarkan catatan lembaga swadaya masyarakat Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN), paling tidak terdapat sepuluh lembaga negara yang dibentuk atas dasar perintah undang-undang. Lembaga-lembaga tersebut adalah Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia (Komnas Perlindungan Anak), Komisi Kepolisian Nasional, Komisi Kejaksaan, Dewan Pers, dan Dewan Pendidikan. Jumlah ini kemungkinan dapat bertambah atau berkurang mengingat lembaga negara dalam kelompok ini tidak bersifat permanen melainkan bergantung pada kebutuhan negara.
Misalnya, KPK dibentuk karena dorongan kenyataan bahwa fungsi lembaga-lembaga yang sudah ada sebelumnya, seperti kepolisian dan kejaksaan, dianggap tidak maksimal atau tidak efektif dalam melakukan pemberantasan korupsi. Apabila kelak, korupsi dapat diberantas dengan efektif oleh kepolisian dan kejaksaan,maka keberadaan KPK dapat ditinjau kembali.

            Lembaga-lembaga negara dalam  kelompok terakhir inilah yang disebut dalam tulisan ini sebagai lembaga negara bantu. Pembentukan lembaga-lembaga negara yang bersifat mandiri ini secara umum disebabkan oleh adanya ketidakpercayaan publik terhadap lembaga-lembaga negara yang ada dalam menyelesaikan persoalan ketatanegaraan. Selain itu pada kenyataannya, lembaga-lembaga negara yang telah ada belum berhasil memberikan jalan keluar dan menyelesaikan persoalan yang ada ketika tuntutan perubahan dan perbaikan semakin mengemuka seiring dengan berkembangnya paham demokrasi di Indonesia.
Pembentukan lembaga-lembaga negara bantu tersebut juga harus memiliki landasan pijak yang kuat dan paradigma yang jelas. Dengan demikian, keberadaannya dapat membawa manfaat bagi kepentingan publik pada umumnya serta bagi penataan sistem ketatanegaraan pada khususnya. [11]Ni’matul Huda, mengutip Firmansyah Arifin,dkk. dalam Lembaga Negara dan Sengketa Kewenangan Antarlembaga Negara, mengatakan bahwa aspek kuantitas lembaga-lembaga tersebut tidak menjadi masalah asalkan keberadaan dan pembentukannya mencerminkan prinsip-prinsip sebagai berikut:


1. Prinsip konstitusionalisme.
Konstitusionalisme adalah gagasan yang menghendaki agar kekuasaan para pemimpin dan badan-badan pemerintahan yang ada dapat dibatasi. Pembatasan tersebut dapat diperkuat sehingga menjadi suatu mekanisme yang tetap. Dengan demikian, pembentukan lembaga-lembaga negara bantu ditujukan untuk menegaskan dan memperkuat prinsip-prinsip konstitusionalisme agar hak-hak dasar warga negara semakin terjamin.

2. Prinsip checks and balances.
Ketiadaan mekanisme checks and balances dalam sistem bernegara merupakan salah satu penyebab banyaknya penyimpangan di masa lalu. Supremasi MPR dan dominasi kekuatan eksekutif dalam praktik pemerintahan pada masa prareformasi telah menghambat proses demokrasi secara sehat. Ketiadaan mekanisme saling kontrol antarcabang kekuasaan tersebut mengakibatkan pemerintahan yang totaliter serta munculnya praktik penyalahgunaan kekuasaan atau abuse of power. Prinsip checks and balances menjadi roh bagi pembangunan dan pengembangan demokrasi. Pembentukan organ-organ kelembagaan negara harus bertolak dari kerangka dasar sistem UUD Negara RI Tahun 1945 untuk menciptakan mekanisme checks and balances.

3. Prinsip integrasi.
    Selain harus mempunyai fungsi dan kewenangan yang jelas, konsep kelembagaan negara juga harus membentuk suatu kesatuan yang berproses dalam melaksanakan fungsinya. Pembentukan suatu lembaga negara tidak dapat dilakukan secara parsial, melainkan harus dikaitkan keberadaannya dengan lembaga-lembaga lain yang telah eksis. Proses pembentukan lembaga-lembaga negara yang tidak integral dapat mengakibatkan tumpang-tindihnya kewenangan antarlembaga yang ada sehingga menimbulkan inefektivitas penyelenggaraan pemerintahan.
4. Prinsip kemanfaatan bagi masyarakat.
    Pada dasarnya, pembentukan lembaga negara ditujukan untuk memenuhi kesejahteraan warganya serta menjamin hak-hak dasar warga negara yang diatur dalam konstitusi. Oleh karena itu, penyelenggaraan pemerintahan serta pembentukan lembaga-lembaga politik dan hukum harus mengacu kepada prinsip pemerintahan, yaitu harus dijalankan untuk kepentingan umum dan kebaikan masyarakat secara keseluruhan serta tetap memelihara hak-hak individu warga negara.
            [12]Dalam proses transisi pemerintahan, di Indonesia telah lahir berbagai lembaga negara tambahan seperti telah diuraikan di atas. Akan tetapi, berbeda dengan pembentukan state auxiliary institutions di negara-negara lain, lembaga negara bantu di Indonesia dibentuk dengan proses yang tak seragam. Beberapa didirikan dengan dasar hukum undang-undang , sementara sebagian lainnya dibentuk atas dasar perintah keputusan presiden .
PENUTUP
            Gambaran di atas menunjukkan bahwa yang menjadi latar belakang bertebarannya lembaga-lembaga negara bantu dalam struktur ketatanegaraan RI bukanlah desain konstitusional yang dapat menjadi payung hukum untuk mempertahankan eksistensinya melainkan isu-isu insidental yang diharapkan dapat menjawab persoalan yang dihadapi. Yang Pertama, legitimasi yuridis bagi keberadaan lembaga-lembaga negara bantu itu sangat lemah sehingga senantiasa menghadapi kendala dalam menjalankan kewenangannya. Dan yang Kedua, lembaga-lembaga negara bantu itu berjalan secara sendiri-sendiri tanpa ada sistematika kerja yang sinergis dan dapat mendukung satu sama lain, sehingga hasil kerja suatu lembaga negara bantu seringkali kurang dirasakan manfaatnya oleh lembaga negara bantu lainnya. Kedua hal tersebut di atas akhirnya mengakibatkan efektivitas keberadaan lembaga negara bantu dalam struktur ketatanegaraan masih belum tampak sesuai dengan tujuan awal pembentukan lembaga yang bersifat ekstraeksekutif, kstralegislatif, dan ekstra yudikatif itu.

KPK adalah milik bangsa Indonesia, bukan orang per orang atau golongan. Karena itu, memperkuat KPK agar tetap profesional dan independen adalah tanggung jawab kita bersama, agar KPK tetap dapat melaksanakan tugas-tugasnya dengan baik dan mampu menjawab harapan publik untuk mempercepat mencapai tujuan nasional. Kita perlu melihat keberhasilan negara lain dalam memberantas korupsi melalui lembaga antikorupsi yang didukung penuh oleh pemerintah dan parlemennya, bahkan memasukkannya ke dalam konstitusi (Undang-Undang Dasar).

DAFTAR PUSTAKA
Jimly Asshiddiqie., Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Sinar Grafika, jakarta, 2010
Moh Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi,PT Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2010
Jimly Asshiddiqie., Konstitusi dan konstitualisme indonesia, Sinar Grafika, jakarta, 2009
Ni’matul Huda., Hukum Tata Negara kajian teoritis dan yuridis terhadap konstitusi indonesia, Gama Media, Yogyakarta, 1999
Moh Mahfud MD, Dasar dan struktur ketatanegaraan indonesia, penerbit rineka cipta, Yogyakarta, 1993














[1] dirman79.blogspot.com/2011/07/analisis-status-dan-kedudukan-kpk-dalam.html?zx=d1c758d5b3cb7a09 (juli 2012)  http://id.shvoong.com/law-and-politics/constitutional-law/2065503-analisis-status-dan-kedudukan-kpk/#ixzz1SzGk8ItI
[2] Jimly Asshiddiqie., Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Sinar Grafika, jakarta, 2010

[4] Undang-undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi
[6] Jimly Asshiddiqie., Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Sinar Grafika, jakarta, 2010

[7] Moh Mahfud MD, Dasar dan struktur ketatanegaraan indonesia, penerbit rineka cipta, Yogyakarta, 1993

[8] Jimly Asshiddiqie., Konstitusi dan konstitualisme indonesia, Sinar Grafika, jakarta, 2009

[9] Jimly Asshiddiqie., Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Sinar Grafika, jakarta, 2010

[10] Moh Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi,PT Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2010

[11] Ni’matul Huda., Hukum Tata Negara kajian teoritis dan yuridis terhadap konstitusi indonesia, Gama Media, Yogyakarta, 1999

[12] Jimly Asshiddiqie., Konstitusi dan konstitualisme indonesia, Sinar Grafika, jakarta, 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar