Selasa, 12 Februari 2013

Eksistensi Wakil Kepala Daerah Dalam Sistem Penyelenggaraan Pemerintahan daerah


Eksistensi Wakil Kepala Daerah
Dalam Sistem Penyelenggaraan Pemerintahan daerah
Rusdianto
040290051
ABSTRACT

        Wakil kepala daerah merupakan pejabat dalam struktur pemerintahan daerah, namun keberadaannya sampai saat ini masih menjadi polemik dengan asumsi bahwa jabatan wakil kepala dearah merupakan jabatan inkonstitusional karena tidak di sebutkan secara eksplisit dalam UUD NRI 1945 . selain itu tugas dan kewenangan wakil kepala daerah yang begitu terbatas membuat beberapa kalangan ahli hukum berpendapat keberadaan  jabatan wakil kepala daerah adalah jabatan yang mubasir, untuk itu perlu diadakan pengkajian yang mendalam mengenai eksistensi jabatan wakil kepala daerah apakah sudah sesuai dengan prinsip penyelenggaraan pemerintahan daerah atau malah menjadii jabatan yang nuasa politiknya lebih menonjol.
--------------
Key words: wakil kepala daerah,eksistensi, jabatan

1.  Pendahuluan
            Sistem penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia berdasarkan pendekatan kesisteman meliputi sistem pemerintahan pusat atau disebut pemerintah dan sistem pemerintahan daerah.Praktik penyelenggaraan pemerintahan dalam hubungan antarpemerintah,dikenal dengan konsep sentralisasi dan desentralisasi. Konsep sentralisasi menunjukkan karakteristik bahwa semua kewenangan penyelenggaraan pemerintahan berada di pemerintah pusat, sedangkan sistem desentralisasi menunjukkan karakteristik yakni sebagian kewenangan urusan pemerintahan yang menjadi kewajiban pemerintah, diberikan kepada pemerintah daerah.
 
            Sistem desentralisasi pemerintahan tidak pernah surut dalam teori maupun praktik pemerintahan daerah dari waktu ke waktu.  Desentralisasi menjadi salah satu isu besar yakni to choose between a dispension of power and unification of power.  Dispension of power adalah sejalan dengan teori pemisahan kekuasaan dari John Locke.



            Berdasarkan tujuan desentralisasi, yaitu:
1.   untuk mengurangi beban pemerintah pusat dan campur tangan tentang masalah-masalah kecil bidang pemerintahan di tingkat local;
2.   meningkatkan dukungan dan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan kegiatan pemerintahan local;
3.  melatih masyarakat untuk dapat mengatur urusan rumah tangganya sendiri; dan
4.   mempercepat bidang pelayanan umum pemerintahan kepada masyarakat.

            Implementasi sistem desentralisasi (otonomi daerah) merujuk format yang diatur dalam UU Nomor 5 Tahun 1974, UU Nomor 22 Tahun 1999 dan UU Nomor 32 Tahun 2004. Perubahan kedua UUD 1945 tentang pemerintahan daerah dalam pasal 18 dinyatakan sebagai berikut:
1.   Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan undang-undang.
2.   Pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut azas otonomi dan tugas pembantuan.
3.   Pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggotanya diplih melalui pemilu.
4.   Gubernur, buapati, dan walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.
5.   Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat.
6.   Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan lain, untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.
7.   Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam undang- undang.

2.  Kebijakan Politik Dalam Otonomi Daerah di Era Reformasi.
            Pada periode setelah orde baru, lahir dua undang-undang tentang pemerintahan daerah yang dianggap aspiratif mengakomodasikan prinsip demokrasi dalam sistem pemerintahan daearah di Indonesia.  Kedua undang-undang tersebut adalah: UU No. 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah dan UU No. 32 Tahun 2004 yang dianggap sebagai revisi terhadap UU No. 22 Tahun 1999.
a. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999
            Pada periode Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, desentralisasi ditegaskan sebagai penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom dalam kerangka NKRI. Pemerintah daerah adalah kepala daerah beserta perangkat daerah otonom yang tidak lain sebagai badan eksekutif daerah. Daerah provinsi berkedudukan sebagai wilayah administrasi kewenangan daerah, mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta kewenangan di bidang lainnya. Kewenangan-kewenangan daerah otonom lebih luas dan bertumpu pada tingkat kabupaten/kota.

            Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 memberikan implikasi dan simplikasi terhadap melemahnya peran dominasi pemerintah pusat kepada daerah. Hal ini tercermin dalam proses pencalonan, pemilihan, usulan pengangkatan calon kepala dan wakil kepala  daerah dilakukan sepenuhnya dan menjadi wewenang DPRD.

            Langkah reformasi telah mengubah sistem pemerintahan era sebelumya dengan dilahirkannya UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah ini. Euforia politik sebagai hasil pemilu tahun 1999 telah memberikan kerangka dasar dalam penyelenggaraan sistem pemerintahan di tingkat pusat dan daerah, yang lebih banyak dipengaruhi kekuatan politik dalam penyelenggaraannya. Beberapa indikator yang mewarnai penyelenggaraan sistem pemerintahan di era ini antara lain:

1. Kekuasaan Legislatif lebih besar dibanding kekuasaan eksekutif
2. Pemerintahan dikendalikan oleh kekuasaan politik
3. Pertanggungjawaban kepala daerah kepada lembaga legislati
4. Kepala daerah dapat diberhentikan oleh DPRD
5. Wewenang DPRD menetapkan belanja DPRD
6. Menjamurnya pemekaran daerah kabupaten / kota.

b. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004
            Kelahiran undang-undang ini dilatarbelakangi dengan adanya perkembangan keadaan, ketatanegaraan, dan tuntutan otonomi daerah.  Menurut Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 ini, dalam penyelenggaraan otonomi menggunakan format otonomi seluas-luasnya.  Artinya, azas ini diberlakukan oleh pemerintah seperti pada era sebelum UU Nomor 5 Tahun 1974.  Alasan pertimbangan ini didassarkan suatu asumsi bahwa hal-hal mengenai urusan pemerintahan yang dapat dilaksanakan oleh daerah itu sendiri, sangat tepat diberikan kebijakan otonomi sehingga setiap daerah mampu dan mandiri untuk memberikan pelayanan demi meningkatkan kesejahteraan rakyat di daerah.

            Kontrol pusat atas daerah dilakukan dengan mekanisme pengawasan yang menunjukkan formulasi cukup ketat dengan mekanisme pengawasan preventif, represif, dan pengawasan umum.  Proses pemelihan kepala/wakil kepala daerah menurut UU Nomor 32 Tahun 2004 tidak lagi menjadi wewenang DPRD, melainkan dilaksanakan dengan pemilihan langsung yang diselenggarakan oleh lembaga Komisi Pemilihan Umum daerah (KPUD).  Hal ini amat berbeda dengan UU Nomor 22 Tahun 1999 bahwa DPRD merupakan wahana untuk melaksanakan demokrasi berdasarkan Pancasila dan kedudukannya sejajar (mitra) dari pemerintah daerah, namun dalam praktek sering kali terjadi penafsiran berbeda.

3. Analisis Teori Tentang Kedudukan Wakil Kepala Daerah.

Terminologi pembagian kewenangan pemerintahan daerah yang didoktrinkan oleh undang undang No.22 tahun 1999 pada Pasal 2 ayat 1, bahwa negara dibagi berdasarkan pada territorial atau wilayah. Dampak yuridis aturan tersebut menjadikan kekuasaan yang dimiliki oleh daerah seperti “negara” didalam negara. Hal tersebut tidaklah salah, karena interpretasi legislasi secara gramatikal dan stipulatif memang menyatakan demikian. Implikasinya adalah otonomi/kebebasan yang berlebihan tersebut, maka tahun 2004 legislasi mengganti subtansi pasal 2 UU No.22 tahun 1999 menjadi UU No.32 tahun 2004 yaitu masuknya terminologi Negara dalam sistem pembagian kewenangan pemerintahan daerah. Substansi Pasal 2 UU No.32 tahun 2004 menyatakan bahwa negara Indonesia dibagi berdasarkan provinsi dan provinsi dibagi atas kabupaten/kota, artinya bahwa Negara kesatuan RI yang dibagi bukan lagi terminology wilayah yang dibagi. Sedangkan secara teoritis/doktrin Krannenburg bahwa Negara merupakan suatu organisasi kekuasaan, bahwa yang dibagi dalam suatu Negara adalah kekuasaannya bukan wilayah Negara (Soehino, 1998, hal. 87)

Secara yuridis pandangan teoritis Krannenburg mengenai negara, maka  studi terhadap UU No.32 tahun 2004 adalah studi mengenai pembagian kekuasaan pemerintahan daerah. Dalam hukum publik/administrasi kekuasaan pemerintahan mempunyai interpretasi yang serupa dengan kewenangan. Sehingga pembahasan terhadap pembagian kekuasaan daerah sama halnya dengan membahas pembagian kewenangannya.

Wakil menurut Poerwadarminta, adalah orang yang dikuasakan bertindak sebagai ganti (sulih) orang lain. Sedangkan definisi menurut menurut Black Laws adalah “person acting  in place of, or person next in rank to”. Artinya menurut terminology bahasa wakil berarti orang/pejabat yang secara hirarki berada di bawah kepala.

Teori Kewenangan :

Dalam berbagai literature banyak ditemukan istilah wewenang ataupun kewenangan digunakan secara bersamaan, atau diinterpretasikan mempunyai makna yang sama atau bahkan keduanya adalah sama. Berdasarkan pemaknaan yang ada dalam Kamus karangan Poerwadarminta W.J.S istilah tersebut adalah sama dan digunakan dalam bentuk kata benda. Definisi yang diberikan untuk istilah wewenang /kewenangan adalah hak dan kekuasaan (untuk melakukan sesuatu). Pengertian wewenang/kewenangan menurut kamus hukum (Black’s Law), yang dalam Bahasa Inggris dikenal dengan istilah authority (Henry Campbell Black  1990, h. 32) :

Authority : permission, rights to exercise power; to implement and enforce laws; t exact obedience; to synonymous with power; the power delegated by a principal to his agent. The lawful delegation of power by one person to another. Power of agent to effect legal relation by acts close in accordance with principals manifestation of consent to agent.

Istilah wewenang atau kewenangan sering dijabarkan dalam dengan istilah bevoegdheid dalam istilah hukum Belanda. Bila dilakukan pengkajian secara cermat ada perbedaan antara istilah wewenang atau kewenangan dengan istilah bevoegdheid. Perbedaan tesebut terletak pada karakter hukum dari kedua kata tersebut, istilah Belanda  bevoegdheid digunakan baik dalam konsep hukum privat maupun konsep hukum publik. Sedangkan konsep hukum Indonesia istilah kewenangan atau wewenang selalu digunakan dalam konsep hukum publik (Philipus M Hadjon, 1997, h.1). 
Dalam hukum tata Negara, wewenang (bevoegdheid) dideskripsikan sebagai kekuasaan hukum (rechstacht), jadi dalam konsep hukum publik wewenang berkaitan dengan kekuasaan. Maka dari itu, konsep hukum publik wewenang berkaitan dengan kekuasaan. Maka dari itu konsep wewenang yang merupakan hukum publik, artinya suatu wewenang tersebut sekurang-kurang harus terdiri dari 3 komponen utama, yaitu :

1.      Pengaruh
2.      Dasar Hukum
3.      Konformitas hukum

Unsur pertama suatu kewenangan adalah adanya pengaruh, yang dapat diartikan bahwa wewenang atau kewenangan digunakan untuk tujuan agar dapat mengendalikan perilaku dari manusia yang merupakan subyek hukum. komponen kedua adalah, terkait dengan sumber dari kewenangan tersebut. Yakni yang menjadi dasar hukum pemberian kewenangan itu. Artinya bahwa aturan hukum inilah yang digunakan oleh pejabat publik sebagai dasar hukum untuk melaksanakan/menjalankan tugas yang menjadi kewajibannya sesuai undang-undang. Atau dengan kata lain sebagai penjelmaan dari hukum publik adalah kewenangan itu dapat ditunjuk dasar hukumnya. Komponen ketiga sebagai syarat wewenang adalah konformitas hukum. Bahwa wewenang tersebut mengandung makna Adanya standar kewenangan yaitu standar umum (semua jenis wewenang) dan standar khusus (untuk jenis wewenang tertentu).

Penjelasan pokok dari konsep hukum kedua dari komponen kewenangan yaitu sumber hukum juga dikategorikan sebagai hal pokok yang mejadi criteria wewenang pada hukum publik.  Bagi pemerintah dasar untuk melakukan perbuatan hukum publik adalah adanya kewenangan yang berkaitan dengan jabatan. Artinya kewenangan yang dimiliki pada hakikatnya melekat pada jabatan yang diemban oleh pejabat tersebut. Hal ini secara jelas dicantumkan dalam makna kewenangan menurut Black’s Law.

Sedangkan jabatan sendiri memperoleh wewenang melalui tiga sumber :
1.      Atribusi
2.      Delegasi
3.      Mandat

Wewenang atribusi dikatakan sebagai cara normal untuk memperoleh wewenang pemerintah dan juga dikatakan bahwa wewenang atribusi merupakan wewenang untuk membuat keputusan (besluit) yang langsung bersumber pada undang-undang dalam arti materiil. Rumusan lain dikatakan bahwa atribusi merupakan pembentukan wewenang tertentu dan pemberiannya kepada organ tertentu (Philipus Mandiri Hadjon, 1999, hal. 139)..

Kewenangan atribusi adalah wewenang pemerintah dalam melakukan tindakan yang bersumber langsung dari undang-undang secara materiil, artinya secara nyata tercantum di dalam materi perundangan. Maka dari itu dapat dikatakan bahwa makna atribusi secara umum adalah wewenang yang melekat pada jabatan.

Sumber kewenangan yang kedua adalah delegasi, seperti dijelaskan sebelumnya bahwa ini merupakan pelimpahan wewenang, yang artinya kewenangan tersebut berasal dari pelimpahan wewenang. Yaitu bermakna bahwa kewenangan tersebut berasal dari pelimpahan dari pejabat yang mempunyai kewenangan secara atributif. Berbagai macam jenis definisi diberikan oleh beberapa ahli Tata Negara terkait dengan makna dari delegasi. Salah satunya adalah menurut J.B.J.M Ten Berge, bahwa penjelasan mengenai definisi dari delegasi dalam hukum Belanda yang tercantum dalam artikel 10:3 AWB. Bahwa delegasi diartikan sebagai penyerahan wewenang (untuk membuat suatu keputusan [besluit]) oleh pejabat pemerintah kepada pihak lain dan wewenang tersebut menjadi tanggung jawab pihak lain tersebut. Hal tersebut berarti bahwa setelah pejebat yang memiliki wewenang secara atributif melakukan pelimpahan wewenang kepada pihak lain, maka secara utuh wewenang dan segala tanggung gugat atas atas keputusan yang terkait dengan wewenang itu menjadi milik pihak lain tersebut. (Philipus Mandiri Hadjon, 1999, hal. 139)..

Sumber wewenang yang terakhir yaitu mandat yang juga merupakan jenis kewenangan yang berasal dari pelimpahan. Mandat adalah suatu pelimpahan wewenang kepada bawahan, dan pelimpahan wewenang tersebut dimaksudkan untuk membuat keputusan atas nama pejabat Tata Usaha Negara yang memberi mandat. Keputusan ini bernilai sama halnya dengan keputusan pejabat Tata Usaha Negara yang memberi mandat, sehingga tanggung gugat dan tanggung jawab atas putusan tetap berada di tangan pemberi mandat. Dan untuk memberikan wewenang berupa mandat tidak perlu adanya ketentuan perundang-undangan yang melandasinya karena mandat merupakan sebuah hal rutin dalam hubungan intern-hirarkhi organisasi pemerintah.
            Sedangkan bila dilihat dari jenis jabatan yang dimiliki, Jabatan kepala dan wakil kepala daerah adalah jabatan pemerintah (politik), bukan merupakan jabatan negeri.

Menurut  Hukum Positif :

Keterkaitan teori kewenangan yaitu pengaruh dan dasar hukum tercantum dalam Pasal 24 dan Pasal 26 Undang-Undang No.32 tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Bahwa wewenang yang diberikan kepada wakil kepala daerah ditujukan untuk mengendalikan perilaku dari subyek hukum. Maksud dari pernyataan diatas adalah pemberian wewenang tertentu pada wakil kepala daerah diberikan dengan tujuan untuk mengendalikan perilaku masyarakat sehingga wakil kepala daerah dapat menjalankan penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai sasaran. Artinya bahwa aturan hukum inilah yang digunakan oleh pejabat publik sebagai dasar hukum untuk melaksanakan /menjalankan tugas yang menjadi kewajibannya sesuai undang-undang.

Selain itu pengaturan yang dijelaskan oleh Peraturan Pemerintah No.109 tahun 2000 tentang kedudukan keuangan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Tepatnya substansi Pasal 2 tersebut adalah sebagai berikut :

Pasal 2
“Kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah pejabat Negara.”
Berdasar pada semua pendektan teori tentang kedudukan dan wewenang wakil kepala daerah dan pendekatan peruandang-undangan yang dilakukan, syarat sumber kewenangan telah sesuai dengan hukum positif yang mengatur tentang kedudukan yuridis wakil kepala daerah.

Namun Permasalahan yang timbul adalah terkait dengan jenis wewenang yang dipikul oleh wakil kepala daerah sebagai orang yang membantu tugas kepala daerah, karena jika menurut teori, wakil adalah bawahan maka wewenang yang dimiliki wakil kepala daerah adalah mandat. Dalam jenis wewenang yang berupa mandat tidak perlu adanya ketentuan perundang-undangan yang melandasinya karena mandat merupakan sebuah hal rutin dalam hubungan intern-hirarkhi organisasi pemerintah. Selain itu tanggung jawab akibat perbuatan hukum yang dilakukan pelaksana mandat sepenuhnya berada pada pemberi mandat. Hal tersebut bertentangan dengan apa yang dituangkan oleh UU no.32 tahun 2004 dan PP No.6 tahun 2005, bahwa wewenang wakil kepala daerah dituangkan dalam sebuah regulasi dan melekat pada jabatan. Akibatnya secara yuridis wakil kepala daerah memiliki wewenang atribusi terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai amanat Pasal 24 dan Pasal 26 UU No.32 tahun 2004, meskipun dalam hal ini terbatas pada hal-hal tertentu.

4.         Politik Hukum Wakil Kepala Daerah dan Kedudukan Hukum Wakil Kepala Daerah.
Politik Hukum Perundang-undangan
Dinamika pemerintahan daerah pascaamendemen UUD mengalami pasang-surut yang menjadi trand topic semua unsur, mulai dari bongkar-pasang undang-undang pemerintahan daerah, dinamika kontraksi, dan atau transaksi politik Pilkada, pemekaran daerah, komplik kebijakan publik, keluhan pelayanan terpadu, kemiskinan, kantibmas, korupsi anggaran, dan pengisian jabatan wakil dan terkini hubungan antara kepala daerah dan wakil kepala daerah.
Pasal 18 UUD 1945, sebagai ground norm dari pemerintahan daerah secara tegas menyatakan: “Pemerintah provinsi, kota/kabupaten, mengatur, dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.” Penyelenggaraan pemerintahan daerah kemudian dilakukan berdasar prinsip otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat.
Kedudukan dan kekuasaan penyelenggaraan pemerintah daerah melakukan aktivitasnya tidak keluar dari kerangka Negara Kesatuan. Begitu pula pengelolaan daerah tentu tidak terlepas dari suatu sistem pengelolaan, termasuk subsistem yang menjadi pengelola sistemnya yang telah ditentukan aturan perundang-undangan. Alur pemikiran tersebut akhirnya akan berkait erat dengan model rekrutmen kepala daerah di masing-masing daerah.
Pasal 18 Ayat (4) menyatakan gubernur, bupati, dan wali kota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis. Dalam Pasal 18 UUD ini dapat ketahui tidak ada sama sekali menyebutkan keberadaan dari wakil kepala daerah.

Kedudukan wakil kepala daerah muncul dalam UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang menyatakan setiap daerah dipimpin seorang kepala daerah dan di bantu oleh seorang wakil kepala daerah. Pemimpin daerah selain sebagai wakil pemerintah pusat di daerah, juga merupakan pasangan pejabat publik yang terpilih berdasarkan political recruitmen atau model pemilihan (elections) yang bersifat langsung (direct) dan menjalankan amanah rakyat.
Oleh sebab itu, kedudukan kepala daerah dan wakil kepala daerah diibaratkan sebagai partner yang tidak terpisahkan, baik sebagai pejabat publik dalam hal pengelola maupun pemegang tampuk kepemimpinan di daerah. Kedua pejabat daerah sebagai simbol rakyat yang bertindak sebagai pelindung masyarakat daerah dan mewujudkan kepercayaan masyarakat.
Dengan demikian seorang kepala daerah dan wakil harus mampu bersinergi dan harmonis dalam hal berpikir, bertindak dan bersikap mengutamakan kepentingan bangsa, negara dan masyarakat daerah ketimbangan kepentingan pribadi, golongan dan aliran. Untuk itu, Kepala Daerah dan Wakil harus bersikap arif, bijaksana, jujur, adil dan netral dalam melaksanakan kebijakan yang dibuat atau tindak-tanduk Kepala Dan Wakil Kepala Daerah harus memenuhi tata-aturan yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan.
Secara substansi persoalan krusial retaknya hubungan karena berkaitan dengan tugas dan kewenangan yang dimiliki wakil. Pasal 26 UU No. 32 Tahun 2004 menyatakan tugas dari wakil kepala daerah adalah: a) Membantu kepala daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah; b) Membantu kepala daerah dalam mengoordinasikan kegiatan instansi vertikal di daerah, menindaklanjuti laporan dan/atau temuan hasil pengawasan, melaksanakan pemberdayaan perempuan dan pemuda serta mengupayakan pengembangan dan pelestarian sosial budaya dan lingkungan hidup; c) Memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan pemerintahan kabupaten dan kota bagi wakil kepala daerah provinsi; d) Memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan pemerintahan di wilayah kecamatan, kelurahan dan/atau desa bagi wakil kepala daerah kabupaten/kota; e) Memberikan saran dan pertimbangan kepada kepala daerah dalam penyelenggaraan kegiatan pemerintah daerah; f) Melaksanakan tugas dan kewajiban pemerintahan lainnya yang diberikan kepala daerah; dan g) Melaksanakan tugas dan wewenang kepala daerah apabila kepala daerah berhalangan; h) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimasud pada ayat (1), wakil kepala daerah bertanggung jawab kepada kepala daerah; dan i) Wakil Kepala Daerah menggantikan Kepala Daerah sampai habis masa jabatannya apabila kepala daerah meninggal dunia, berhenti, diberhentikan atau tidak dapat melakukan kewajibannya selama 6 (enam) bulan secara terus menerus dalam masa jabatannya.
Dari pasal tersebut dapat diperhatikan lemahnya posisi wakil adalah: Pertama jabatan wakil kepala daerah sifatnya membantu dan menyukseskan kepala daerah dalam memimpin daerah, melaksanakan tugas tertentu, menggantikan kepala daerah bila berhalangan. Namun pada pasal tersebut hilang esinsi bahwa keberadaan wakil kepala daerah merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dan dipilih berpasangan secara langsung oleh rakyat dan bersama memimpin menyelenggarakan pemerintahan daerah.
Kedua, tugas dan wewenang wakil bersifat umum, kekuasaan penuh ada di kepala daerah dan akhirnya ini memunculkan kegamangan wakil dalam bertindak. Harusnya kepala daerah membina hubungan dengan wakil dan memberikan peluang kepada wakil sesuai dengan kontrak politik yang dibuat ketika mereka berangkat menjadi satu pasangan calon kepala daerah.
Menyikapi hal ini diperlukan formulasi aturan lebih aplikatif dari Kemendagri dan DPRD yang secara tegas mengatur pola hubungan mengenai tugas dan kewenangan supaya dapat berjalan sinergis, terpadu, terarah, dan tidak tumpang-tindih. Sehingga permasalahan ketidakharmonisan antara kepala daerah dan wakil sampai pengunduran diri wakil kepala daerah tidak perlu terjadi bila ada pengaturan yang jelas dan perinci mengenai tata kerja dalam memimpin pemerintahan.
Lantas ketiga, tidak terdapat indikator yang mengungkapkan wakil kepala daerah dianggap bekerja efektif atau tidak efektif bekerja.
Hertanto menyatakan rivalitas laten yang cenderung tidak sehat antara dua pucuk pimpinan menyebabkan tidak terbangunnya tim kerja birokrasi pemerintahan yang mapan; koordinasi tidak jalan; saling curiga tinggi; intrik sangat vulgar; kebijakan pemerintahan menjadi tanpa visi serta etika politik dan pemerintahan terabaikan (Lampung Post, [3—5-2006]).
Rivalitas lebih memuncak bila sudah dekat masa pilkada, maka antara kepala daerah dan wakil akan saling curiga, menyalahkan dan bersaing memperebutkan simpati masyarakat agar dapat di pilih kembali. Terlepas siapa benar dan salah bukankah esensi dari memimpin daerah adalah melaksanakan kewajiban dan tanggung jawab sampai pada akhir masa jabatannya.
Arah Kebijakan Wakil
Perubahan UU Pemerintahan Daerah di tahun 2012 salah satunya membenahi yang berkaitan dengan kedudukan wakil kepala daerah. Ada beberapa choice arah kebijakan perbaikan untuk menyelesaikan persoalan tersebut:
Pertama, memperkuat kedudukan wakil kepala daerah dalam melaksanakan tugas dan kewenangan serta hubungan antara kepala daerah.
Kedua, pemilihan kepala daerah hanya dilakukan untuk memilih seorang kepala daerah dan tidak serta-merta memilih wakil kepala daerah dengan asumsi bahwa wakil kepala daerah tidak disebutkan dalam Pasal 18 UUD. Namun, bila kedudukan wakil kepala daerah dianggab penting dengan kreteria yang ada, wakil kepala daerah cukup diangkat dan ditetapkan pemerintah sesuai dengan tingkatan pemerintahan.
Untuk wakil gubernur ditetapkan Kemendagri dan untuk wakil wali kota/bupati ditetapkan gubernur sebagai pelaksanaan asas dekonsentrasi. Jadi, sifat wakil bukan dari politisi, melainkan dari birokrat yang tugasnya membantu dan menyukseskan penyelenggaraan pemerintahan daerah. Model ini serupa dengan pengangkatan wakil menteri oleh presiden.
Ketiga, dengan menggunakan model, kepala daerah terpilih menentukan dua calon wakil yang berasal dari partai politik atau birokrat yang memiliki kapasitas dan kemampuan dalam rangka membantu kepala daerah selama menjalankan jabatan dan selanjutnya disodorkan nama-nama tersebut ke lembaga DPRD untuk di pilih. Lantas kemudian diusulkan untuk dilantik secara bersama-sama.
Keempat, supaya tidak ada disharmonisasi antara kepala daerah dan wakil kepala daerah bahwa kedudukan wakil kepala daerah dihilangkan dalam struktur pemimpin daerah. Sesuai dengan Pasal 18 UUD yang tidak mengatur keberadaan wakil kepala daerah.
Bila hal tesebut dapat terselesaikan, semoga penyelengaraan pemerintahan daerah ke depan dapat tercipta good governance dan clean goverment pemerintahan daerah tanpa ada pemimpin daerah mengundurkan diri. (Sumber: Lampung Post, 02 Januari 2012).


DAFTAR PUSTAKA
Ali Faried, 1996, Hukum Tata Pemerintahan dan Proses Legislatif di Indonesia, Jakarta, Raja Grafindo.
Amal, Ichlasul dan Nasikun, 1988, Desentralisasi dan Prospeknya, P3PK, Yogyakarta, Universitas Gajah Mada
Huda, Ni’matul, 2005, Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta, RajaGrafindo Persada.
Jedawi, Mortir, 2001, Desentralisasi dan Implementasi di Indonesia, Makalah, Makassar, PPs Unhas.
Joeniarto, 1986,  Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia, Jakarta, Bina Aksara.
Sunarno, Siswanto, 2008, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika
Suyata, Antonius, 2000, Reformasi dalam Penegakan Hukum, Jakarta, Djambatan.










Tidak ada komentar:

Posting Komentar