Eksistensi Wakil Kepala Daerah
Dalam Sistem Penyelenggaraan Pemerintahan daerah
Rusdianto
040290051
ABSTRACT
Wakil kepala daerah merupakan pejabat dalam
struktur pemerintahan daerah, namun keberadaannya sampai saat ini masih menjadi
polemik dengan asumsi bahwa jabatan wakil kepala dearah merupakan jabatan
inkonstitusional karena tidak di sebutkan secara eksplisit dalam UUD NRI 1945 .
selain itu tugas dan kewenangan wakil kepala daerah yang begitu terbatas
membuat beberapa kalangan ahli hukum berpendapat keberadaan jabatan wakil kepala daerah adalah jabatan
yang mubasir, untuk itu perlu diadakan pengkajian yang mendalam mengenai
eksistensi jabatan wakil kepala daerah apakah sudah sesuai dengan prinsip
penyelenggaraan pemerintahan daerah atau malah menjadii jabatan yang nuasa
politiknya lebih menonjol.
--------------
Key words:
wakil kepala daerah,eksistensi, jabatan
1.
Pendahuluan
Sistem penyelenggaraan pemerintahan di
Indonesia berdasarkan pendekatan kesisteman meliputi sistem pemerintahan pusat
atau disebut pemerintah dan sistem pemerintahan daerah.Praktik penyelenggaraan
pemerintahan dalam hubungan antarpemerintah,dikenal dengan konsep sentralisasi
dan desentralisasi. Konsep sentralisasi menunjukkan karakteristik bahwa semua
kewenangan penyelenggaraan pemerintahan berada di pemerintah pusat, sedangkan
sistem desentralisasi menunjukkan karakteristik yakni sebagian kewenangan
urusan pemerintahan yang menjadi kewajiban pemerintah, diberikan kepada
pemerintah daerah.
Sistem
desentralisasi pemerintahan tidak pernah surut dalam teori maupun praktik
pemerintahan daerah dari waktu ke waktu.
Desentralisasi menjadi salah satu isu besar yakni to choose between a dispension of power and
unification of power. Dispension of power adalah sejalan
dengan teori pemisahan kekuasaan dari John Locke.
Berdasarkan
tujuan desentralisasi, yaitu:
1. untuk mengurangi beban
pemerintah pusat dan campur tangan tentang masalah-masalah kecil bidang
pemerintahan di tingkat local;
2. meningkatkan dukungan dan
partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan kegiatan pemerintahan local;
3. melatih masyarakat untuk dapat mengatur urusan rumah tangganya
sendiri; dan
4. mempercepat bidang pelayanan
umum pemerintahan kepada masyarakat.
Implementasi
sistem desentralisasi (otonomi daerah) merujuk format yang diatur dalam UU
Nomor 5 Tahun 1974, UU Nomor 22 Tahun 1999 dan UU Nomor 32 Tahun 2004.
Perubahan kedua UUD 1945 tentang pemerintahan daerah dalam pasal 18 dinyatakan
sebagai berikut:
1. Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan
daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota
yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota
itu mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan undang-undang.
2. Pemerintah daerah provinsi,
kabupaten dan kota
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut azas otonomi dan
tugas pembantuan.
3. Pemerintahan daerah provinsi,
kabupaten, dan kota
memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggotanya diplih melalui pemilu.
4. Gubernur, buapati, dan walikota masing-masing sebagai kepala
pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.
5. Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali
urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan
pemerintah pusat.
6. Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan
lain, untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.
7. Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur
dalam undang- undang.
2. Kebijakan Politik Dalam Otonomi Daerah di Era
Reformasi.
Pada
periode setelah orde baru, lahir dua undang-undang tentang pemerintahan daerah
yang dianggap aspiratif mengakomodasikan prinsip demokrasi dalam sistem
pemerintahan daearah di Indonesia. Kedua
undang-undang tersebut adalah: UU No. 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah
dan UU No. 32 Tahun 2004 yang dianggap sebagai revisi terhadap UU No. 22 Tahun
1999.
a. Undang-undang Nomor 22
Tahun 1999
Pada periode Undang-undang
Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, desentralisasi ditegaskan
sebagai penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom
dalam kerangka NKRI. Pemerintah daerah adalah kepala daerah beserta perangkat
daerah otonom yang tidak lain sebagai badan eksekutif daerah. Daerah provinsi
berkedudukan sebagai wilayah administrasi kewenangan daerah, mencakup
kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang
politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama
serta kewenangan di bidang lainnya. Kewenangan-kewenangan daerah otonom lebih
luas dan bertumpu pada tingkat kabupaten/kota.
Undang-undang Nomor 22
Tahun 1999 memberikan implikasi dan simplikasi terhadap melemahnya peran
dominasi pemerintah pusat kepada daerah. Hal ini tercermin dalam proses
pencalonan, pemilihan, usulan pengangkatan calon kepala dan wakil kepala daerah dilakukan sepenuhnya dan menjadi
wewenang DPRD.
Langkah reformasi telah
mengubah sistem pemerintahan era sebelumya dengan dilahirkannya UU Nomor 22
Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah ini. Euforia politik sebagai hasil
pemilu tahun 1999 telah memberikan kerangka dasar dalam penyelenggaraan sistem
pemerintahan di tingkat pusat dan daerah, yang lebih banyak dipengaruhi
kekuatan politik dalam penyelenggaraannya. Beberapa indikator yang mewarnai
penyelenggaraan sistem pemerintahan di era ini antara lain:
1. Kekuasaan Legislatif lebih besar dibanding kekuasaan eksekutif
2. Pemerintahan dikendalikan oleh kekuasaan politik
3. Pertanggungjawaban kepala daerah kepada lembaga legislati
4. Kepala daerah dapat diberhentikan oleh DPRD
5. Wewenang DPRD menetapkan belanja DPRD
6. Menjamurnya pemekaran daerah kabupaten / kota.
b. Undang-undang Nomor 32
Tahun 2004
Kelahiran undang-undang
ini dilatarbelakangi dengan adanya perkembangan keadaan, ketatanegaraan, dan
tuntutan otonomi daerah. Menurut
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 ini, dalam penyelenggaraan otonomi
menggunakan format otonomi seluas-luasnya.
Artinya, azas ini diberlakukan oleh pemerintah seperti pada era sebelum
UU Nomor 5 Tahun 1974. Alasan
pertimbangan ini didassarkan suatu asumsi bahwa hal-hal mengenai urusan
pemerintahan yang dapat dilaksanakan oleh daerah itu sendiri, sangat tepat
diberikan kebijakan otonomi sehingga setiap daerah mampu dan mandiri untuk
memberikan pelayanan demi meningkatkan kesejahteraan rakyat di daerah.
Kontrol pusat atas daerah
dilakukan dengan mekanisme pengawasan yang menunjukkan formulasi cukup ketat dengan
mekanisme pengawasan preventif, represif, dan pengawasan umum. Proses pemelihan kepala/wakil kepala daerah
menurut UU Nomor 32 Tahun 2004 tidak lagi menjadi wewenang DPRD, melainkan
dilaksanakan dengan pemilihan langsung yang diselenggarakan oleh lembaga Komisi
Pemilihan Umum daerah (KPUD). Hal ini
amat berbeda dengan UU Nomor 22 Tahun 1999 bahwa DPRD merupakan wahana untuk
melaksanakan demokrasi berdasarkan Pancasila dan kedudukannya sejajar (mitra)
dari pemerintah daerah, namun dalam praktek sering kali terjadi penafsiran
berbeda.
3. Analisis Teori Tentang
Kedudukan Wakil Kepala Daerah.
Terminologi pembagian kewenangan
pemerintahan daerah yang didoktrinkan oleh undang undang No.22 tahun 1999 pada
Pasal 2 ayat 1, bahwa negara dibagi berdasarkan pada territorial atau wilayah.
Dampak yuridis aturan tersebut menjadikan kekuasaan yang dimiliki oleh daerah
seperti “negara” didalam negara. Hal tersebut tidaklah salah, karena
interpretasi legislasi secara gramatikal dan stipulatif memang menyatakan
demikian. Implikasinya adalah otonomi/kebebasan yang berlebihan tersebut, maka
tahun 2004 legislasi mengganti subtansi pasal 2 UU No.22 tahun 1999 menjadi UU
No.32 tahun 2004 yaitu masuknya terminologi Negara dalam sistem pembagian
kewenangan pemerintahan daerah. Substansi Pasal 2 UU No.32 tahun 2004
menyatakan bahwa negara Indonesia dibagi berdasarkan provinsi dan provinsi
dibagi atas kabupaten/kota, artinya bahwa Negara kesatuan RI yang dibagi bukan
lagi terminology wilayah yang dibagi. Sedangkan secara teoritis/doktrin
Krannenburg bahwa Negara merupakan suatu organisasi kekuasaan, bahwa yang dibagi
dalam suatu Negara adalah kekuasaannya bukan wilayah Negara (Soehino, 1998,
hal. 87)
Secara yuridis pandangan teoritis Krannenburg mengenai
negara, maka studi terhadap UU No.32
tahun 2004 adalah studi mengenai pembagian kekuasaan pemerintahan daerah. Dalam
hukum publik/administrasi kekuasaan pemerintahan mempunyai interpretasi yang
serupa dengan kewenangan. Sehingga pembahasan terhadap pembagian kekuasaan
daerah sama halnya dengan membahas pembagian kewenangannya.
Wakil menurut Poerwadarminta, adalah orang yang dikuasakan
bertindak sebagai ganti (sulih) orang lain. Sedangkan definisi menurut menurut
Black Laws adalah “person acting in place of, or person next in rank to”.
Artinya menurut terminology bahasa wakil berarti orang/pejabat yang secara hirarki
berada di bawah kepala.
Teori Kewenangan :
Dalam berbagai literature banyak ditemukan istilah wewenang ataupun kewenangan
digunakan secara bersamaan, atau diinterpretasikan mempunyai makna yang sama
atau bahkan keduanya adalah sama. Berdasarkan pemaknaan yang ada dalam Kamus
karangan Poerwadarminta W.J.S istilah tersebut adalah sama dan digunakan dalam
bentuk kata benda. Definisi yang diberikan untuk istilah wewenang /kewenangan
adalah hak dan kekuasaan (untuk melakukan sesuatu). Pengertian wewenang/kewenangan
menurut kamus hukum (Black’s Law),
yang dalam Bahasa Inggris dikenal dengan istilah authority (Henry Campbell
Black 1990, h. 32) :
Authority : permission, rights to exercise power; to implement and enforce laws; t
exact obedience; to synonymous with power; the power delegated by a principal
to his agent. The lawful delegation of power by one person to another. Power of
agent to effect legal relation by acts close in accordance with principals manifestation of consent to
agent.
Istilah wewenang
atau kewenangan sering dijabarkan dalam dengan istilah bevoegdheid dalam istilah hukum Belanda. Bila dilakukan pengkajian
secara cermat ada perbedaan antara istilah wewenang atau kewenangan dengan
istilah bevoegdheid. Perbedaan
tesebut terletak pada karakter hukum dari kedua kata tersebut, istilah
Belanda bevoegdheid digunakan baik dalam konsep hukum privat maupun konsep
hukum publik. Sedangkan konsep hukum Indonesia istilah kewenangan atau wewenang
selalu digunakan dalam konsep hukum publik (Philipus
M Hadjon, 1997, h.1).
Dalam hukum tata
Negara, wewenang (bevoegdheid)
dideskripsikan sebagai kekuasaan hukum (rechstacht),
jadi dalam konsep hukum publik wewenang berkaitan dengan kekuasaan. Maka dari
itu, konsep hukum publik wewenang berkaitan dengan kekuasaan. Maka dari itu
konsep wewenang yang merupakan hukum publik, artinya suatu wewenang tersebut
sekurang-kurang harus terdiri dari 3 komponen utama, yaitu :
1. Pengaruh
2. Dasar Hukum
3. Konformitas hukum
Unsur pertama
suatu kewenangan adalah adanya pengaruh, yang dapat diartikan bahwa wewenang
atau kewenangan digunakan untuk tujuan agar dapat mengendalikan perilaku dari
manusia yang merupakan subyek hukum. komponen kedua adalah, terkait dengan
sumber dari kewenangan tersebut. Yakni yang menjadi dasar hukum pemberian
kewenangan itu. Artinya bahwa aturan hukum inilah yang digunakan oleh pejabat
publik sebagai dasar hukum untuk melaksanakan/menjalankan tugas yang menjadi
kewajibannya sesuai undang-undang. Atau dengan kata lain sebagai penjelmaan
dari hukum publik adalah kewenangan itu dapat ditunjuk dasar hukumnya. Komponen
ketiga sebagai syarat wewenang adalah konformitas hukum. Bahwa wewenang
tersebut mengandung makna Adanya standar kewenangan yaitu standar umum (semua
jenis wewenang) dan standar khusus (untuk jenis wewenang tertentu).
Penjelasan pokok
dari konsep hukum kedua dari komponen kewenangan yaitu sumber hukum juga
dikategorikan sebagai hal pokok yang mejadi criteria wewenang pada hukum
publik. Bagi pemerintah dasar untuk
melakukan perbuatan hukum publik adalah adanya kewenangan yang berkaitan dengan
jabatan. Artinya kewenangan yang dimiliki pada hakikatnya melekat pada jabatan
yang diemban oleh pejabat tersebut. Hal ini secara jelas dicantumkan dalam
makna kewenangan menurut Black’s Law.
Sedangkan jabatan
sendiri memperoleh wewenang melalui tiga sumber :
1. Atribusi
2. Delegasi
3. Mandat
Wewenang
atribusi dikatakan sebagai cara normal untuk memperoleh wewenang pemerintah dan
juga dikatakan bahwa wewenang atribusi merupakan wewenang untuk membuat
keputusan (besluit) yang langsung
bersumber pada undang-undang dalam arti materiil. Rumusan lain dikatakan bahwa
atribusi merupakan pembentukan wewenang tertentu dan pemberiannya kepada organ
tertentu (Philipus Mandiri
Hadjon, 1999, hal. 139)..
Kewenangan
atribusi adalah wewenang pemerintah dalam melakukan tindakan yang bersumber
langsung dari undang-undang secara materiil, artinya secara nyata tercantum di
dalam materi perundangan. Maka dari itu dapat dikatakan bahwa makna atribusi
secara umum adalah wewenang yang melekat pada jabatan.
Sumber
kewenangan yang kedua adalah delegasi, seperti dijelaskan sebelumnya bahwa ini
merupakan pelimpahan wewenang, yang artinya kewenangan tersebut berasal dari
pelimpahan wewenang. Yaitu bermakna bahwa kewenangan tersebut berasal dari
pelimpahan dari pejabat yang mempunyai kewenangan secara atributif. Berbagai
macam jenis definisi diberikan oleh beberapa ahli Tata Negara terkait dengan
makna dari delegasi. Salah satunya adalah menurut J.B.J.M Ten Berge, bahwa
penjelasan mengenai definisi dari delegasi dalam hukum Belanda yang tercantum
dalam artikel 10:3 AWB. Bahwa delegasi diartikan sebagai penyerahan wewenang
(untuk membuat suatu keputusan [besluit])
oleh pejabat pemerintah kepada pihak lain dan wewenang tersebut menjadi
tanggung jawab pihak lain tersebut. Hal tersebut berarti bahwa setelah pejebat
yang memiliki wewenang secara atributif melakukan pelimpahan wewenang kepada
pihak lain, maka secara utuh wewenang dan segala tanggung gugat atas atas
keputusan yang terkait dengan wewenang itu menjadi milik pihak lain tersebut. (Philipus Mandiri Hadjon, 1999, hal. 139)..
Sumber wewenang
yang terakhir yaitu mandat yang juga merupakan jenis kewenangan yang berasal
dari pelimpahan. Mandat adalah suatu pelimpahan wewenang kepada bawahan, dan pelimpahan
wewenang tersebut dimaksudkan untuk membuat keputusan atas nama pejabat Tata
Usaha Negara yang memberi mandat. Keputusan ini bernilai sama halnya dengan
keputusan pejabat Tata Usaha Negara yang memberi mandat, sehingga tanggung
gugat dan tanggung jawab atas putusan tetap berada di tangan pemberi mandat.
Dan untuk memberikan wewenang berupa mandat tidak perlu adanya ketentuan
perundang-undangan yang melandasinya karena mandat merupakan sebuah hal rutin
dalam hubungan intern-hirarkhi organisasi pemerintah.
Sedangkan
bila dilihat dari jenis jabatan yang dimiliki, Jabatan kepala dan wakil kepala
daerah adalah jabatan pemerintah (politik), bukan merupakan jabatan negeri.
Menurut Hukum Positif :
Keterkaitan teori
kewenangan yaitu pengaruh dan dasar hukum tercantum dalam Pasal 24 dan Pasal 26
Undang-Undang No.32 tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Bahwa wewenang yang
diberikan kepada wakil kepala daerah ditujukan untuk mengendalikan perilaku
dari subyek hukum. Maksud dari pernyataan diatas adalah pemberian wewenang
tertentu pada wakil kepala daerah diberikan dengan tujuan untuk mengendalikan
perilaku masyarakat sehingga wakil kepala daerah dapat menjalankan
penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai sasaran. Artinya bahwa aturan hukum
inilah yang digunakan oleh pejabat publik sebagai dasar hukum untuk
melaksanakan /menjalankan tugas yang menjadi kewajibannya sesuai undang-undang.
Selain itu pengaturan yang dijelaskan
oleh Peraturan Pemerintah No.109 tahun 2000 tentang kedudukan keuangan Kepala Daerah
dan Wakil Kepala Daerah. Tepatnya substansi
Pasal 2 tersebut adalah sebagai berikut :
Pasal 2
“Kepala daerah dan wakil kepala
daerah adalah pejabat Negara.”
Berdasar pada semua pendektan teori tentang kedudukan dan
wewenang wakil kepala daerah dan pendekatan peruandang-undangan yang dilakukan,
syarat sumber kewenangan telah sesuai dengan hukum positif yang mengatur
tentang kedudukan yuridis wakil kepala daerah.
Namun Permasalahan yang timbul adalah terkait dengan jenis
wewenang yang dipikul oleh wakil kepala daerah sebagai orang yang membantu
tugas kepala daerah, karena jika menurut teori, wakil adalah bawahan maka
wewenang yang dimiliki wakil kepala daerah adalah mandat. Dalam jenis wewenang
yang berupa mandat tidak perlu adanya ketentuan perundang-undangan yang
melandasinya karena mandat merupakan sebuah hal rutin dalam hubungan
intern-hirarkhi organisasi pemerintah. Selain itu tanggung jawab akibat
perbuatan hukum yang dilakukan pelaksana mandat sepenuhnya berada pada pemberi
mandat. Hal tersebut bertentangan dengan apa yang dituangkan oleh UU no.32
tahun 2004 dan PP No.6 tahun 2005, bahwa wewenang wakil kepala daerah
dituangkan dalam sebuah regulasi dan melekat pada jabatan. Akibatnya secara
yuridis wakil kepala daerah memiliki wewenang atribusi terhadap
penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai amanat Pasal 24 dan Pasal 26 UU
No.32 tahun 2004, meskipun dalam hal ini terbatas pada hal-hal tertentu.
4.
Politik
Hukum Wakil Kepala Daerah dan Kedudukan Hukum Wakil Kepala Daerah.
Politik
Hukum Perundang-undangan
Dinamika pemerintahan daerah
pascaamendemen UUD mengalami pasang-surut yang menjadi trand topic semua unsur,
mulai dari bongkar-pasang undang-undang pemerintahan daerah, dinamika
kontraksi, dan atau transaksi politik Pilkada, pemekaran daerah, komplik
kebijakan publik, keluhan pelayanan terpadu, kemiskinan, kantibmas, korupsi
anggaran, dan pengisian jabatan wakil dan terkini hubungan antara kepala daerah
dan wakil kepala daerah.
Pasal 18 UUD 1945, sebagai
ground norm dari pemerintahan daerah secara tegas menyatakan: “Pemerintah
provinsi, kota/kabupaten, mengatur, dan mengurus sendiri urusan pemerintahan
menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.” Penyelenggaraan pemerintahan daerah
kemudian dilakukan berdasar prinsip otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan
pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah
Pusat.
Kedudukan dan kekuasaan
penyelenggaraan pemerintah daerah melakukan aktivitasnya tidak keluar dari
kerangka Negara Kesatuan. Begitu pula pengelolaan daerah tentu tidak terlepas
dari suatu sistem pengelolaan, termasuk subsistem yang menjadi pengelola
sistemnya yang telah ditentukan aturan perundang-undangan. Alur pemikiran
tersebut akhirnya akan berkait erat dengan model rekrutmen kepala daerah di
masing-masing daerah.
Pasal 18 Ayat (4) menyatakan
gubernur, bupati, dan wali kota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah
provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis. Dalam Pasal 18 UUD ini
dapat ketahui tidak ada sama sekali menyebutkan keberadaan dari wakil kepala
daerah.
Kedudukan wakil kepala daerah
muncul dalam UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang menyatakan
setiap daerah dipimpin seorang kepala daerah dan di bantu oleh seorang wakil
kepala daerah. Pemimpin daerah selain sebagai wakil pemerintah pusat di daerah,
juga merupakan pasangan pejabat publik yang terpilih berdasarkan political
recruitmen atau model pemilihan (elections) yang bersifat langsung (direct) dan
menjalankan amanah rakyat.
Oleh sebab itu, kedudukan kepala
daerah dan wakil kepala daerah diibaratkan sebagai partner yang tidak
terpisahkan, baik sebagai pejabat publik dalam hal pengelola maupun pemegang
tampuk kepemimpinan di daerah. Kedua pejabat daerah sebagai simbol rakyat yang
bertindak sebagai pelindung masyarakat daerah dan mewujudkan kepercayaan
masyarakat.
Dengan demikian seorang kepala
daerah dan wakil harus mampu bersinergi dan harmonis dalam hal berpikir,
bertindak dan bersikap mengutamakan kepentingan bangsa, negara dan masyarakat
daerah ketimbangan kepentingan pribadi, golongan dan aliran. Untuk itu, Kepala
Daerah dan Wakil harus bersikap arif, bijaksana, jujur, adil dan netral dalam
melaksanakan kebijakan yang dibuat atau tindak-tanduk Kepala Dan Wakil Kepala
Daerah harus memenuhi tata-aturan yang terdapat dalam peraturan
perundang-undangan.
Secara substansi persoalan
krusial retaknya hubungan karena berkaitan dengan tugas dan kewenangan yang
dimiliki wakil. Pasal 26 UU No. 32 Tahun 2004 menyatakan tugas dari wakil
kepala daerah adalah: a) Membantu kepala daerah dalam menyelenggarakan
pemerintahan daerah; b) Membantu kepala daerah dalam mengoordinasikan kegiatan
instansi vertikal di daerah, menindaklanjuti laporan dan/atau temuan hasil
pengawasan, melaksanakan pemberdayaan perempuan dan pemuda serta mengupayakan pengembangan
dan pelestarian sosial budaya dan lingkungan hidup; c) Memantau dan
mengevaluasi penyelenggaraan pemerintahan kabupaten dan kota bagi wakil kepala
daerah provinsi; d) Memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan pemerintahan di
wilayah kecamatan, kelurahan dan/atau desa bagi wakil kepala daerah
kabupaten/kota; e) Memberikan saran dan pertimbangan kepada kepala daerah dalam
penyelenggaraan kegiatan pemerintah daerah; f) Melaksanakan tugas dan kewajiban
pemerintahan lainnya yang diberikan kepala daerah; dan g) Melaksanakan tugas
dan wewenang kepala daerah apabila kepala daerah berhalangan; h) Dalam
melaksanakan tugas sebagaimana dimasud pada ayat (1), wakil kepala daerah
bertanggung jawab kepada kepala daerah; dan i) Wakil Kepala Daerah menggantikan
Kepala Daerah sampai habis masa jabatannya apabila kepala daerah meninggal
dunia, berhenti, diberhentikan atau tidak dapat melakukan kewajibannya selama 6
(enam) bulan secara terus menerus dalam masa jabatannya.
Dari pasal tersebut dapat
diperhatikan lemahnya posisi wakil adalah: Pertama jabatan wakil kepala daerah
sifatnya membantu dan menyukseskan kepala daerah dalam memimpin daerah,
melaksanakan tugas tertentu, menggantikan kepala daerah bila berhalangan. Namun
pada pasal tersebut hilang esinsi bahwa keberadaan wakil kepala daerah
merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dan dipilih berpasangan secara
langsung oleh rakyat dan bersama memimpin menyelenggarakan pemerintahan daerah.
Kedua, tugas dan wewenang wakil
bersifat umum, kekuasaan penuh ada di kepala daerah dan akhirnya ini
memunculkan kegamangan wakil dalam bertindak. Harusnya kepala daerah membina
hubungan dengan wakil dan memberikan peluang kepada wakil sesuai dengan kontrak
politik yang dibuat ketika mereka berangkat menjadi satu pasangan calon kepala
daerah.
Menyikapi hal ini diperlukan
formulasi aturan lebih aplikatif dari Kemendagri dan DPRD yang secara tegas
mengatur pola hubungan mengenai tugas dan kewenangan supaya dapat berjalan
sinergis, terpadu, terarah, dan tidak tumpang-tindih. Sehingga permasalahan
ketidakharmonisan antara kepala daerah dan wakil sampai pengunduran diri wakil
kepala daerah tidak perlu terjadi bila ada pengaturan yang jelas dan perinci
mengenai tata kerja dalam memimpin pemerintahan.
Lantas ketiga, tidak terdapat
indikator yang mengungkapkan wakil kepala daerah dianggap bekerja efektif atau
tidak efektif bekerja.
Hertanto menyatakan rivalitas
laten yang cenderung tidak sehat antara dua pucuk pimpinan menyebabkan tidak
terbangunnya tim kerja birokrasi pemerintahan yang mapan; koordinasi tidak
jalan; saling curiga tinggi; intrik sangat vulgar; kebijakan pemerintahan
menjadi tanpa visi serta etika politik dan pemerintahan terabaikan (Lampung
Post, [3—5-2006]).
Rivalitas lebih memuncak bila
sudah dekat masa pilkada, maka antara kepala daerah dan wakil akan saling
curiga, menyalahkan dan bersaing memperebutkan simpati masyarakat agar dapat di
pilih kembali. Terlepas siapa benar dan salah bukankah esensi dari memimpin
daerah adalah melaksanakan kewajiban dan tanggung jawab sampai pada akhir masa
jabatannya.
Arah Kebijakan Wakil
Perubahan UU Pemerintahan Daerah di tahun 2012
salah satunya membenahi yang berkaitan dengan kedudukan wakil kepala daerah.
Ada beberapa choice arah kebijakan perbaikan untuk menyelesaikan persoalan tersebut:
Pertama, memperkuat kedudukan wakil kepala daerah
dalam melaksanakan tugas dan kewenangan serta hubungan antara kepala daerah.
Kedua, pemilihan kepala daerah hanya dilakukan
untuk memilih seorang kepala daerah dan tidak serta-merta memilih wakil kepala
daerah dengan asumsi bahwa wakil kepala daerah tidak disebutkan dalam Pasal 18
UUD. Namun, bila kedudukan wakil kepala daerah dianggab penting dengan kreteria
yang ada, wakil kepala daerah cukup diangkat dan ditetapkan pemerintah sesuai
dengan tingkatan pemerintahan.
Untuk wakil gubernur ditetapkan Kemendagri dan
untuk wakil wali kota/bupati ditetapkan gubernur sebagai pelaksanaan asas
dekonsentrasi. Jadi, sifat wakil bukan dari politisi, melainkan dari birokrat
yang tugasnya membantu dan menyukseskan penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Model ini serupa dengan pengangkatan wakil menteri oleh presiden.
Ketiga, dengan menggunakan model, kepala daerah
terpilih menentukan dua calon wakil yang berasal dari partai politik atau
birokrat yang memiliki kapasitas dan kemampuan dalam rangka membantu kepala
daerah selama menjalankan jabatan dan selanjutnya disodorkan nama-nama tersebut
ke lembaga DPRD untuk di pilih. Lantas kemudian diusulkan untuk dilantik secara
bersama-sama.
Keempat, supaya tidak ada disharmonisasi antara
kepala daerah dan wakil kepala daerah bahwa kedudukan wakil kepala daerah
dihilangkan dalam struktur pemimpin daerah. Sesuai dengan Pasal 18 UUD yang
tidak mengatur keberadaan wakil kepala daerah.
Bila hal tesebut dapat terselesaikan, semoga
penyelengaraan pemerintahan daerah ke depan dapat tercipta good governance dan
clean goverment pemerintahan daerah tanpa ada pemimpin daerah mengundurkan
diri. (Sumber: Lampung Post, 02 Januari 2012).
DAFTAR PUSTAKA
Ali Faried, 1996, Hukum Tata Pemerintahan dan Proses Legislatif di Indonesia,
Jakarta, Raja Grafindo.
Amal, Ichlasul dan Nasikun, 1988, Desentralisasi dan Prospeknya, P3PK,
Yogyakarta, Universitas Gajah Mada
Huda, Ni’matul, 2005, Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta, RajaGrafindo Persada.
Jedawi, Mortir, 2001, Desentralisasi dan Implementasi di Indonesia, Makalah, Makassar,
PPs Unhas.
Joeniarto, 1986,
Sejarah Ketatanegaraan Republik
Indonesia, Jakarta, Bina Aksara.
Sunarno, Siswanto, 2008, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika
Suyata, Antonius, 2000, Reformasi dalam Penegakan Hukum, Jakarta, Djambatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar